Selasa, 14 Juni 2016

Puisi adalah Rumah yang Lestari


   (San Kean, In Memoriam...! )






Ledalero, Senin, 23 November 2015.
Dinihari. 

            Fr. Robertus Rita Kean, SVD (29+), mahasiswa aktif Program Pascasarjana pada STFK Ledalero, calon imam Serikat Sabda Allah, sosok yang cukup familiar dengan senyum yang damai, gerak laku yang ringan, juga tegur sapa yang hangat itu, tutup usia. Yang ada waktu itu hanyalah keterkejutan dari banyak pihak, ketidakpercayaan. San meninggalkan semua orang -keluarga, sahabat, kenalan, kawan, juga mungkin lawan- dalam posisi yang belum siap sama sekali, entah siap secara psikis entah pula secara yang lain. Saya pastikan, sampai detik ini pun, sebagian orang yang begitu mengenal San, bahkan belum rela menerima kenyataan pahit ini. Duka yang lebih dalam dari lautan, yang menembus batas langit, demikian Leo Kleden, rupanya belum tersembuhkan. Di tengah palungan sepi-perih-sedih ini, ternyata ada realitas ganda yang mencuat. San memang telah tiada, telah hancur secara fisik-ragawi, tetapi tidak dalam dunianya, dalam rumahnya yang satu ini. 
            Catatan kecil saya yang sederhana ini, pertama-tama untuk mengenang dan menghormati Almarhum, agar ia tetap menjadi yang tak pernah lepas dari kita. Setelah itu, saya sekadar mengingatkan kita, bahwa ada satu rumah yang dalamnya, San tetap hidup, eksis, survive. Rumah yang lestari itu, puisi...!

***

            Pramoedya Ananta Toer benar. “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis (tambahan saya: dan tak ada yang menulis tentang dia), ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Alhamdulilah, San ‘terselamatkan’ atau terus ‘terhidupi’ oleh/lewat puisi-puisinya. Saya tidak sedang menjaring dan mengumpulkan puisi-puisi San yang tersebar, berserakkan di mana-mana. Saya juga tidak hendak melampirkan secara alfabetis atau acak banyak judul itu di sini. Saya hanya tertarik pada 4 nomor puisi San, lalu coba membacanya dalam hening, coba mengundang San ke dalam diri saya, coba menafsir, coba semampu saya, dan tentu, terbatas.

            VOX Seri 60/02/2015 hadir dengan mengusung topik utama ‘Jokowi Separuh Waktu’. Buletin ilmiah Kampus Ledalero yang lahir pada 1986 itu masih tetap dengan gaya yang khas. Sejumlah artikel (analisis filosofis, teologis, antropologis, eklesiologis, sosio-politis, atau budaya) dan sepilihan puisi. San hadir mengisi ruang puisi (hlm. 126-128). Sebetulnya, alasan paling fundamental yang mendorong saya mengerjakan proyek ini ialah kerinduan pribadi saya pada San, juga afirmasi atas tesis Pramoedya di atas.
             
Mari kita mulai...!
            Demokrasi, topik paling hangat dalam diskursus filsafat politik kontemporer, menjadi tema yang dikedepankan San dalam 4 nomor puisinya. Tanpa keterangan tanggal atau tahun atau tempat atau kepada siapa, San rupanya tidak ingin me-ruang-dan-me-waktu-kan puisi-puisinya. Kata dibiarkannya lepas, bebas, bukan kepada siapa-siapa, sekaligus kepada semua.
Puisi 1, hemat saya, lebih kepada elegi, ratapan seorang anak bangsa yang akbar ini.

Di Jalan Negeri

Di jalan negeri ini selalu terbaca berita duka
Rakyat gugur bagai bencana
Menemui ajal sehabis berjumpa orang berdarah politik
Jalan negeri merah merona bagai darah
Meneguk kematian lantaran mengalir darah
Hanya pasrah pada nasib

            Dugaan saya, San acap kali membaca W.S. Rendra. Hampir persis, berangkat dari observasi yang jeli, mekar sebagai kembang dari keprihatinan yang mendalam, juga tak lupa kritik tajam yang berdaya ubah. San mempersoalkan ‘politik’, ‘politik’ telah berubah menjadi semacam belati atau senjata yang mematikan. Dan, pasrah pada nasib merupakan pilihan terbaik dari semua pilihan yang sejatinya buruk, minus malum. 
            Setelah mengungkapkan eleginya, San maju menuju narasi. Kepada Manusia Demokrasi merupakan judul kedua yang ia pilih. San bercerita kepada kita kini, mendongeng buat kita di separuh rezim Jokowi ini. Ada cerita sebelum tidurmu/ Di luar pedang masih merantau/ Ke leher-leher itu/ Seruling bukan lagi musik yang indah/ Gendang menjadi sirene yang menakutkan. Apakah kita memang manusia demokrasi, yang lanjut San, Mungkin nanti malam engkau terjaga/ Biarlah bisikan malam ini menjadi tanda (?). Kita bahkan benar-benar tak dapat lepas dari sejarah. Saya seolah merasakan, betapa ketika puisi ini ditulis, memoria passionis (kenangan akan penderitaan) San yang ia baca, amati atau bahkan alami pada paruh akhir Masa ORBA, mengepung imaji dan jiwanya. Selama totalitarianisme Soeharto berkuasa, apalagi ketika situasi memanas di mana-mana, malam-malam selalu berarti malam-malam yang dihiasi pernak-pernik teror dan darah. Lantas, Hannah Arendt (filsuf perempuan keturunan Yahudi, 1906-1975) dibenarkan di sini, totalitarianisme dilanggengkan oleh teror demi teror, dan teror-teror itu menjadi efektif dalam kamp-kamp konsentrasi. San sekali lagi memperingatkan kita, Aku haus/ Bukan darah/ Aku memelukmu bukan ketakutan/ Tapi kepasrahan. Lagi-lagi, pasrah. Pasrah adalah semacam jalan keluar yang kita lupa kalau ia bukanlah jalan keluar. Pada bagian paling akhir, San rupanya tidak ingin agar kita (manusia demokrasi) dilemahkan. San menyudahi puisi ini dengan sebuah optimisme. Aku menjerit bukan karena kesakitan/ Tapi harapan kerinduan/ Menanti fajar/ Bangun untuk berjuang/ Untuk memainkan nada-nada baru/ Bukan nada requem tapi suka cita/ Menemani fajar kemenangan/ Membiarkan darah dan keringat berlalu. San tidak ingin kita larut dan mandul dalam kubangan masa lalu yang kelam.
            Cukup ironis, memang, puisi ke-3 diberi judul Menghamili Demokrasi. Sedikit genit, tetapi tentu, simpatik. San membentangkan di hadapan kita, fakta perpolitikkan mutakhir, yang sebetulnya merupakan lagu lama yang terus diputar.
Ini rinduku
Bertanda tanggal merah bagai darah
Berhias kembang ungu
Pertemuan rasa di atas ranjang egoisme
Persetubuhan egois dan sosialis
Menghamilkan demokrasi      

Kritik San keras sekali. Rindu dimaksud adalah rinduku (aku: politikus), yang pada gilirannya Menghamilkan demokrasi. Di sini, hamil tidak boleh dipahami sebagai yang baik, sebagai bagian dari produktivitas. Hamil dalam konteks ini terjadi oleh sebab brutalitas, yang mana akar dari brutalitas itu ialah egoisme. Lebih lanjut, San makin lengkap membentangkan realitas perpolitikkan kita,

Lakonan kehidupan berubah mendung/ Saat nista melumati rongga-rongga jiwa/ Dalam seremoni kepentingan partai/ Melahirkan persentuhan jiwa/ Dalam seremoni tubuh-tubuh tak bernyawa/ Dalam dekapan dunia baru/ Terlahir janin demokrasi/ Prematur dalam inkubator kekuasaan poitikus

            Pada titik ini, saya teringat akan pengertian politik versi Y.B. Mangunwijaya, yang beliau bagi dalam dua. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan. Orang memahami politik sebagai medium untuk mencapai tujuan, yang kian mungkin lewat partai-partai politik (Dalam seremoni kepentingan partai, demikian San). Ada perlombaan di sana, ada kong-kalikong, ada dinasti, ada primordialisme, ada sukuisme, atau dalam bahasa San, ada Pertemuan rasa di atas ranjang egoisme/ Persetubuhan egois dan sosialis. Kedua, politik moral. Inilah arti paling otentik dari politik. Politik bukan lagi sarana semata, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri. Namun de facto, arti otentik ini bahkan telah pudar sama sekali. Hasilnya, Terlahir janin demokrasi/ Prematur dalam inkubator kekuasaan poitikus. Betul, demokrasi kita bukan hanya prematur, tetapi idiot.

            San mengakhiri puisi-puisinya dengan sebuah harapan. Boleh saya katakan, San menutup dengan doa, meski rumusannya bukanlah sebuah ujud yang khusuk sebagaimana biasa. Pernyataan sikap San justru saya temukan pada puisi ke-4, yang ia lukiskan cukup panjang. Secara metodologis-puitis, San tidak tanpa alasan menulis puisi-puisinya ini, juga tidak tanpa alasan menyusunnya sedemikian.

Harga Sebuah Demokrasi

Pergulatan sejarah dalam urutan waktu
Bagai rotasi berputar pelan

Arena pertikaian sejarah pada lukisan buram
Perjuangan mencapai tujuan
Kehendak pribadi terbentur komunisme
Harapan pada sosialis yang kaku
Bertanya kebenaran pada pribadi egois
Dalam sejarah penuh duka

Reformasi?
Sekian zaman telah berlalu
HAM sekian hari terus ternoda

Sampai di sini, dapat dengan jelas terbaca, betapa San memiliki pengetahuan yang luas dan kronologis tentang perjalanan Indonesia ini, sejak awal mula. Lika-liku yang panjang dan melelahkan yang dapat dirunut dalam literatur-literatur historisitas Bangsa dan Negeri ini, dikrucutkan oleh San lewat tanya, Reformasi? Rupanya, San masih menggantung sangsi di sini. Reformasi yang ditandai dengan collapse-nya ORBA belum membebaskan, dan memang, belum sama sekali. Pertanyaan dan pernyataan yang juga mendasar dan emergensi,

Keadilan?
Sekian detik terluka
Lantas kita berlari pada demokrasi
Dari, oleh dan untuk rakyat
Indah menawan didengar

Sinisme...! Dengan menggunakan referensi demos dan kratein, San bahkan skeptis sama sekali. Ia melanjutkan, Mungkin sebuah kebijakkan terlahir dari kehendak rakyat?/ Oleh rakyat kenyataan menjadi keberpihakkan?/ Mungkin hanya untuk rakyat pada batas tertentu. Konsep demokrasi yang dikembangkan sejak zaman Yunani Klasik, rupanya hanya sebuah yang Indah menawan didengar, tak punya makna apa-apa. Sebab, San mendeskripsikan,

Tapi...
Penghargaan hanya untuk pelaku zaman
Keuntungan untuk politikus modern
Merayap di atas suara rakyat
Berjuang demi ego pribadi

Kehendak pribadi menjadi penentu keputusan
Menjual diri dalam jaminan suara rakyat
Bermental baja lembaran rupiah
Mencari simpati dengan keberpihakkan
Hanya dalam ulasan kata
Senyum manis di balik jas biru
Perjuangan sesaat untuk rakyat

Kontradiktif...! Kekuasaan di tangan rakyat, yang diragukan oleh San, menyata ketika di tengah situasi tapal batas, ketika rakyat melarat, pembangunan macet di sana-sini, pejabat justru mendapat penghormatan (Senyum manis di balik jas biru -- rupanya San sedang melayangkan kritik bagi Demokrat dan SBY, rezim sebelum Jokowi-JK). Korupsi, kolusi, dan nepotisme marak di pelbagai lapisan. Akarnya, sebagaimana ditandaskan sebelumnya, egoisme. Rakyat dipecundangi, dibuat tak ada apa-apanya. 
            San, pada bagian paling penghujung, menawarkan sebuah revolusi mental dengan kembali ke makna paling otentik dari demokrasi.

Di dalam sebuah demokrasi bergulir
Dari rakyat suaraku
Oleh rakyat pangkatku
Untuk rakyat sisa uangku
Demikian demokrasi yang kubangun

            Saya sudah coba menebak sejak awal. San barangkali terpikat pada bagaimana Rendra tampil lewat sajak-sajaknya, atau Wiji Thukul, penyair dan aktivis reformasi Indonesia itu. Lewat 4 nomor puisinya, posisi San dapat dengan jelas terbaca. San sedang tidak main-main, San memiliki ‘sesuatu’. Bukan sekadar kata dan pemainan bahasa, San tampil kuat dengan daya dobrak dan daya gugahnya (meskipun jika dibaca sembari membuat komparasi dengan penyair-penyair besar lainnya, puisi-puisi San terkesan lugas, kurang terlalu tampak aspek puitisnya). San meratapi sekaligus menaruh harap pada demokrasi. San tampil begitu profetik-alternatif. Tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi secara bening, teduh, dan runcing, menawarkan solusi. Karl Marx tepat. “Para filosof hanya memberi interpretasi lain kepada dunia. Yang perlu ialah mengubahnya!” San, filsuf yang penyair, lewat puisi-puisinya ini, mesti membawa sesuatu yang baru. Sebagaimana filsafat, sastra (tambahan saya) sejatinya mesti revolusioner, demikian Marx.

***

            Keterkejutan kita, ketidakpercayaan kita ketika mendengar berita berpulangnya San Kean menuju Rumah Sang Khalik, sudah saatnya beralih. Saya mengajak kita untuk terkejut sekali lagi karena sebetulnya, San sudah punya persiapan yang matang menuju kematiannya. San mengakhiri hidupnya bukan tanpa apa-apa. San tetap berkontribusi, dan 4 nomor puisinya ini adalah jaminannya. 
            Di tengah ‘beban’ pribadi yang harus ia tanggung, San masih punya rasa cinta pada Indonesia. Hendaknya nasionalisme tidak berhenti manis di bibir saja, tetapi menyata. San justru memberi perhatian pada hal yang begitu substansial-eksistensial, coba membongkarnya, melayangkan kritik, dan mengakhirinya dengan harapan serta tawaran.

Kematian San yang penyair itu adalah kematian yang puitis.
Dan bahwa ada satu rumah yang dalamnya, San tetap hidup, eksis, survive.
Rumah yang lestari itu, puisi...!


*******
Teruntuk: Fr. Robertus Rita Kean, SVD dan Demokrasi.
Pav. Andreas, Minggu, 8 Februari 2016
_er el em_

 CATATAN KENANGAN ini diterbitkan juga dalam:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar