(San Kean, In Memoriam...! )
Ledalero,
Senin, 23 November 2015.
Dinihari.
Fr.
Robertus Rita Kean, SVD (29+), mahasiswa aktif Program Pascasarjana pada
STFK Ledalero, calon imam Serikat Sabda Allah, sosok yang cukup familiar dengan
senyum yang damai, gerak laku yang ringan, juga tegur sapa yang hangat itu,
tutup usia. Yang ada waktu itu hanyalah keterkejutan dari banyak pihak,
ketidakpercayaan. San meninggalkan semua orang -keluarga, sahabat, kenalan,
kawan, juga mungkin lawan- dalam posisi yang belum siap sama sekali, entah siap
secara psikis entah pula secara yang lain. Saya pastikan, sampai detik ini pun,
sebagian orang yang begitu mengenal San, bahkan belum rela menerima kenyataan
pahit ini. Duka yang lebih dalam dari lautan, yang menembus batas langit,
demikian Leo Kleden, rupanya belum tersembuhkan. Di tengah palungan sepi-perih-sedih
ini, ternyata ada realitas ganda yang mencuat. San memang telah tiada, telah
hancur secara fisik-ragawi, tetapi tidak dalam dunianya, dalam rumahnya yang
satu ini.
Catatan kecil saya yang sederhana
ini, pertama-tama untuk mengenang dan menghormati Almarhum, agar ia tetap
menjadi yang tak pernah lepas dari kita. Setelah itu, saya sekadar mengingatkan
kita, bahwa ada satu rumah yang dalamnya, San tetap hidup, eksis, survive. Rumah yang lestari itu,
puisi...!
***
Pramoedya
Ananta Toer benar. “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak
menulis (tambahan saya: dan tak ada yang menulis tentang dia), ia akan hilang
di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.” Alhamdulilah, San
‘terselamatkan’ atau terus ‘terhidupi’ oleh/lewat puisi-puisinya. Saya tidak
sedang menjaring dan mengumpulkan puisi-puisi San yang tersebar, berserakkan di
mana-mana. Saya juga tidak hendak melampirkan secara alfabetis atau acak banyak
judul itu di sini. Saya hanya tertarik pada 4 nomor puisi San, lalu coba
membacanya dalam hening, coba mengundang San ke dalam diri saya, coba menafsir,
coba semampu saya, dan tentu, terbatas.
VOX Seri 60/02/2015 hadir dengan
mengusung topik utama ‘Jokowi Separuh Waktu’. Buletin ilmiah Kampus Ledalero
yang lahir pada 1986 itu masih tetap dengan gaya yang khas. Sejumlah artikel
(analisis filosofis, teologis, antropologis, eklesiologis, sosio-politis, atau
budaya) dan sepilihan puisi. San hadir mengisi ruang puisi (hlm. 126-128). Sebetulnya,
alasan paling fundamental yang mendorong saya mengerjakan proyek ini ialah
kerinduan pribadi saya pada San, juga afirmasi atas tesis Pramoedya di atas.
Mari kita mulai...!
Demokrasi, topik paling hangat dalam
diskursus filsafat politik kontemporer, menjadi tema yang dikedepankan San
dalam 4 nomor puisinya. Tanpa keterangan tanggal atau tahun atau tempat atau kepada
siapa, San rupanya tidak ingin me-ruang-dan-me-waktu-kan puisi-puisinya. Kata dibiarkannya
lepas, bebas, bukan kepada siapa-siapa, sekaligus kepada semua.
Puisi
1, hemat saya, lebih kepada elegi, ratapan seorang anak bangsa yang akbar ini.
Di Jalan Negeri
Di jalan negeri ini selalu terbaca berita duka
Rakyat gugur bagai bencana
Menemui ajal sehabis berjumpa orang berdarah politik
Jalan negeri merah merona bagai darah
Meneguk kematian lantaran mengalir darah
Hanya pasrah pada nasib
Dugaan saya, San acap kali membaca W.S. Rendra. Hampir persis, berangkat
dari observasi yang jeli, mekar sebagai kembang dari keprihatinan yang
mendalam, juga tak lupa kritik tajam yang berdaya ubah. San mempersoalkan
‘politik’, ‘politik’ telah berubah menjadi semacam belati atau senjata yang
mematikan. Dan, pasrah pada nasib merupakan
pilihan terbaik dari semua pilihan yang sejatinya buruk, minus malum.
Setelah
mengungkapkan eleginya, San maju menuju narasi. Kepada Manusia Demokrasi merupakan
judul kedua yang ia pilih. San bercerita kepada kita kini, mendongeng buat kita
di separuh rezim Jokowi ini. Ada cerita
sebelum tidurmu/ Di luar pedang masih merantau/ Ke leher-leher itu/ Seruling
bukan lagi musik yang indah/ Gendang menjadi sirene yang menakutkan. Apakah
kita memang manusia demokrasi, yang lanjut San, Mungkin nanti malam engkau terjaga/ Biarlah bisikan malam ini menjadi
tanda (?). Kita bahkan benar-benar tak dapat lepas dari sejarah. Saya
seolah merasakan, betapa ketika puisi ini ditulis, memoria passionis (kenangan akan penderitaan) San yang ia baca, amati
atau bahkan alami pada paruh akhir Masa ORBA, mengepung imaji dan jiwanya.
Selama totalitarianisme Soeharto berkuasa, apalagi ketika situasi memanas di
mana-mana, malam-malam selalu berarti malam-malam yang dihiasi pernak-pernik
teror dan darah. Lantas, Hannah Arendt (filsuf perempuan keturunan Yahudi,
1906-1975) dibenarkan di sini, totalitarianisme
dilanggengkan oleh teror demi teror, dan teror-teror itu menjadi efektif dalam
kamp-kamp konsentrasi. San sekali lagi memperingatkan kita, Aku haus/ Bukan darah/ Aku memelukmu bukan
ketakutan/ Tapi kepasrahan. Lagi-lagi, pasrah. Pasrah adalah semacam jalan
keluar yang kita lupa kalau ia bukanlah jalan keluar. Pada bagian paling akhir,
San rupanya tidak ingin agar kita (manusia demokrasi) dilemahkan. San menyudahi
puisi ini dengan sebuah optimisme. Aku
menjerit bukan karena kesakitan/ Tapi harapan kerinduan/ Menanti fajar/ Bangun
untuk berjuang/ Untuk memainkan nada-nada baru/ Bukan nada requem tapi suka cita/ Menemani fajar kemenangan/
Membiarkan darah dan keringat berlalu. San tidak ingin kita larut dan
mandul dalam kubangan masa lalu yang kelam.
Cukup
ironis, memang, puisi ke-3 diberi judul Menghamili Demokrasi. Sedikit genit,
tetapi tentu, simpatik. San membentangkan di hadapan kita, fakta perpolitikkan
mutakhir, yang sebetulnya merupakan lagu
lama yang terus diputar.
Ini
rinduku
Bertanda
tanggal merah bagai darah
Berhias
kembang ungu
Pertemuan
rasa di atas ranjang egoisme
Persetubuhan
egois dan sosialis
Menghamilkan
demokrasi
Kritik San keras sekali. Rindu dimaksud adalah rinduku (aku: politikus), yang pada
gilirannya Menghamilkan demokrasi. Di
sini, hamil tidak boleh dipahami
sebagai yang baik, sebagai bagian dari produktivitas. Hamil dalam konteks ini terjadi oleh sebab brutalitas, yang mana
akar dari brutalitas itu ialah egoisme. Lebih lanjut, San makin lengkap
membentangkan realitas perpolitikkan kita,
Lakonan
kehidupan berubah mendung/ Saat nista melumati rongga-rongga jiwa/ Dalam
seremoni kepentingan partai/ Melahirkan persentuhan jiwa/ Dalam seremoni
tubuh-tubuh tak bernyawa/ Dalam dekapan dunia baru/ Terlahir janin demokrasi/
Prematur dalam inkubator kekuasaan poitikus
Pada titik ini, saya teringat akan
pengertian politik versi Y.B. Mangunwijaya, yang beliau bagi dalam dua. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan.
Orang memahami politik sebagai medium untuk mencapai tujuan, yang kian mungkin
lewat partai-partai politik (Dalam
seremoni kepentingan partai, demikian San). Ada
perlombaan di sana, ada kong-kalikong, ada dinasti, ada primordialisme, ada
sukuisme, atau dalam bahasa San, ada Pertemuan
rasa di atas ranjang egoisme/ Persetubuhan egois dan sosialis. Kedua, politik
moral. Inilah arti paling otentik dari politik. Politik bukan lagi sarana
semata, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri. Namun de facto, arti otentik ini bahkan telah pudar sama sekali.
Hasilnya, Terlahir janin demokrasi/
Prematur dalam inkubator kekuasaan poitikus. Betul, demokrasi kita bukan
hanya prematur, tetapi idiot.
San
mengakhiri puisi-puisinya dengan sebuah harapan. Boleh saya katakan, San
menutup dengan doa, meski rumusannya bukanlah sebuah ujud yang khusuk
sebagaimana biasa. Pernyataan sikap San justru saya temukan pada puisi ke-4,
yang ia lukiskan cukup panjang. Secara metodologis-puitis, San tidak tanpa
alasan menulis puisi-puisinya ini, juga tidak tanpa alasan menyusunnya
sedemikian.
Harga Sebuah Demokrasi
Pergulatan
sejarah dalam urutan waktu
Bagai
rotasi berputar pelan
Arena
pertikaian sejarah pada lukisan buram
Perjuangan
mencapai tujuan
Kehendak
pribadi terbentur komunisme
Harapan
pada sosialis yang kaku
Bertanya
kebenaran pada pribadi egois
Dalam
sejarah penuh duka
Reformasi?
Sekian
zaman telah berlalu
HAM
sekian hari terus ternoda
Sampai di sini, dapat dengan jelas terbaca,
betapa San memiliki pengetahuan yang luas dan kronologis tentang perjalanan
Indonesia ini, sejak awal mula. Lika-liku yang panjang dan melelahkan yang
dapat dirunut dalam literatur-literatur historisitas Bangsa dan Negeri ini,
dikrucutkan oleh San lewat tanya, Reformasi?
Rupanya, San masih menggantung sangsi di sini. Reformasi yang ditandai
dengan collapse-nya ORBA belum
membebaskan, dan memang, belum sama sekali. Pertanyaan dan pernyataan yang juga
mendasar dan emergensi,
Keadilan?
Sekian
detik terluka
Lantas
kita berlari pada demokrasi
Dari,
oleh dan untuk rakyat
Indah
menawan didengar
Sinisme...! Dengan menggunakan referensi
demos dan kratein, San bahkan skeptis sama sekali. Ia melanjutkan, Mungkin sebuah kebijakkan terlahir dari
kehendak rakyat?/ Oleh rakyat kenyataan menjadi keberpihakkan?/ Mungkin hanya
untuk rakyat pada batas tertentu. Konsep demokrasi yang dikembangkan sejak
zaman Yunani Klasik, rupanya hanya sebuah yang Indah menawan didengar, tak punya makna apa-apa. Sebab, San
mendeskripsikan,
Tapi...
Penghargaan
hanya untuk pelaku zaman
Keuntungan
untuk politikus modern
Merayap
di atas suara rakyat
Berjuang
demi ego pribadi
Kehendak
pribadi menjadi penentu keputusan
Menjual
diri dalam jaminan suara rakyat
Bermental
baja lembaran rupiah
Mencari
simpati dengan keberpihakkan
Hanya
dalam ulasan kata
Senyum
manis di balik jas biru
Perjuangan
sesaat untuk rakyat
Kontradiktif...! Kekuasaan di tangan
rakyat, yang diragukan oleh San, menyata ketika di tengah situasi tapal batas,
ketika rakyat melarat, pembangunan macet di sana-sini, pejabat justru mendapat
penghormatan (Senyum manis di balik jas
biru -- rupanya San sedang melayangkan kritik bagi Demokrat dan SBY, rezim
sebelum Jokowi-JK). Korupsi, kolusi, dan nepotisme marak di pelbagai lapisan.
Akarnya, sebagaimana ditandaskan sebelumnya, egoisme. Rakyat dipecundangi,
dibuat tak ada apa-apanya.
San,
pada bagian paling penghujung, menawarkan sebuah revolusi mental dengan kembali
ke makna paling otentik dari demokrasi.
Di
dalam sebuah demokrasi bergulir
Dari
rakyat suaraku
Oleh
rakyat pangkatku
Untuk
rakyat sisa uangku
Demikian
demokrasi yang kubangun
Saya
sudah coba menebak sejak awal. San barangkali terpikat pada bagaimana Rendra
tampil lewat sajak-sajaknya, atau Wiji Thukul, penyair dan aktivis reformasi
Indonesia itu. Lewat 4 nomor puisinya, posisi San dapat dengan jelas terbaca. San
sedang tidak main-main, San memiliki ‘sesuatu’. Bukan sekadar kata dan pemainan
bahasa, San tampil kuat dengan daya dobrak dan daya gugahnya (meskipun jika
dibaca sembari membuat komparasi dengan penyair-penyair besar lainnya,
puisi-puisi San terkesan lugas, kurang terlalu tampak aspek puitisnya). San
meratapi sekaligus menaruh harap pada demokrasi. San tampil begitu
profetik-alternatif. Tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi secara bening,
teduh, dan runcing, menawarkan solusi. Karl Marx tepat. “Para filosof hanya
memberi interpretasi lain kepada dunia. Yang perlu ialah mengubahnya!” San,
filsuf yang penyair, lewat puisi-puisinya ini, mesti membawa sesuatu yang baru.
Sebagaimana filsafat, sastra (tambahan saya) sejatinya mesti revolusioner,
demikian Marx.
***
Keterkejutan
kita, ketidakpercayaan kita ketika mendengar berita berpulangnya San Kean
menuju Rumah Sang Khalik, sudah saatnya beralih. Saya mengajak kita untuk
terkejut sekali lagi karena sebetulnya, San sudah punya persiapan yang matang
menuju kematiannya. San mengakhiri hidupnya bukan tanpa apa-apa. San tetap
berkontribusi, dan 4 nomor puisinya ini adalah jaminannya.
Di
tengah ‘beban’ pribadi yang harus ia tanggung, San masih punya rasa cinta pada
Indonesia. Hendaknya nasionalisme tidak berhenti manis di bibir saja, tetapi
menyata. San justru memberi perhatian pada hal yang begitu
substansial-eksistensial, coba membongkarnya, melayangkan kritik, dan
mengakhirinya dengan harapan serta tawaran.
Kematian San yang penyair
itu adalah kematian yang puitis.
Dan bahwa ada satu rumah yang dalamnya, San tetap hidup,
eksis, survive.
Rumah
yang lestari itu, puisi...!
*******
Teruntuk: Fr. Robertus Rita Kean, SVD dan Demokrasi.
Pav. Andreas,
Minggu, 8 Februari 2016
_er el em_
CATATAN KENANGAN ini diterbitkan juga dalam:
1. http://floressastra.com/2016/02/08/puisi-adalah-rumah-yang-lestari/
2. VOX Seri 61/02/2016, hlm. 150-156.
2. VOX Seri 61/02/2016, hlm. 150-156.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar