Reinard L.
Meo
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT
Alumnus SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman)
Artikel sederhana ini lebih
kepada upaya pribadi saya untuk memberi gambaran umum seputar hal-hal penting
berikut. (1) Kembali mengingatkan betapa manusia itu bermartabat lewat adanya
Hak Asasi yang melekat, (2) menunjukkan bahwa Gereja sesungguhnya mempunyai
perhatian besar pada Has Asasi Manusia, dan (3) bahwa memperjuangkan martabat
manusia merupakan tugas setiap orang, khususnya anggota Gereja.
Hak Asasi Manusia
Hal paling
fundamental yang harus disadari dan dipahami ketika berpikir atau berbicara
tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) ialah bahwa HAM itu
melekat pada diri setiap manusia. Dengan lain perkataan, setiap manusia
memiliki dalam dirinya sendiri, HAM. Entahkah manusia itu laki-laki atau
perempuan, berkulit hitam atau putih, Asia atau Afrika, Lamaholot atau Sunda,
Hindu atau Islam, penjahat atau orang saleh, warga sipil atau militer, tua atau
muda, politisi atau rakyat biasa, petani atau pilot, dosen atau mahasiswa,
semuanya sama, yakni memiliki HAM. Atau, entitas paling substansial serentak universal yang mampu menyamakan semua manusia
ialah HAM.
Mengingat betapa penting dan mendasarnya HAM, sikap atau respon terhadapnya
juga mesti menjadi penting dan mendasar. Hal ini secara tegas menyata dalam
bagaimana HAM setiap orang itu diakui, dijamin, dan dihargai, dalam sebuah
komunitas masyarakat tertentu. Karena setiap orang memiliki HAM yang sama, maka
tidak ada apa yang disebut sebagai yang arogan atau yang superior.
Sederhananya, tidak ada orang lain yang diperbolehkan membatasi apalagi secara
radikal mencabut HAM seseorang, meskipun orang tersebut oleh alasan tertentu
dianggap pantas untuk dibatasi. HAM, apa pun argumentasinya, tetap tidak dapat
diganggu gugat.
Gereja dan Hak Asasi Manusia
Ada beberapa sumber yang dapat digunakan
sebagai referensi untuk menemukan pijakan atau basis argumentasi ketika
memperbincangkan HAM, misalnya Konstitusi Pastoral ‘Gaudium et Spes’ dan
Ensiklik ‘Pacem in Terris’. Dengan mengelaborasi secara detail pokok-pokok
fundamental di bawah tema Martabat Pribadi Manusia, ‘Gaudium et Spes’ hendak
menunjukkan bahwa akar-akar HAM mesti dirunut secara lebih reflektif dan
eksistensial dalam hakikat manusia sebagai yang bermartabat. Manusia memiliki
hak asasi karena manusia memiliki martabat yang bersifat pribadi. Tanpa mengabaikan catatan penting dalam ‘Gaudium et
Spes’, saya akan memfokuskan uraian ini pada Ensiklik mendiang Paus Yohanes
XXIII, ‘Pacem in Terris’, yang banyak berbicara tentang HAM.
‘Pacem in Terris’ menyebutkan beberapa hak yang disebut sebagai HAM, yakni; hak
untuk hidup (art. 11), hak untuk dihargai (art. 12), hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak (art. 13), hak untuk beragama dan beribadat (art. 14),
hak untuk menentukan corak hidup (art. 15), hak untuk berkarya dan mendapat
upah (art. 18 dan 20), hak untuk memiliki harta benda (art. 21), hak untuk
membentuk serikat atau organisasi (art. 23), hak untuk bertempat tinggal (art.
25), hak untuk terlibat aktif dalam kehidupan sosial (art. 26), dan hak untuk
mendapat perlindungan hukum (art. 27). Dengan menunjukkan secara tegas hak-hak
mana yang disebut sebagai HAM, Ensiklik ‘Pacem in Terris’ lantas menekankan
bahwa sumber paling fundamental dari HAM itu tidak ditemukan di luar diri
manusia, bukan diserahkan oleh sebuah komunitas religius atau Negara, atau
bukan berkat pencapaian suatu gelar akademik tertentu, melainkan ditemukan dan in
se dalam diri manusia sendiri, dalam relasinya dengan Sang Pencipta. Maka,
‘Pacem in Terris’ senada dengan ‘Gaudium et Spes’ yang menggarisbawahi hakikat
dasariah manusia yang memiliki hak asasi karena manusia memiliki martabat yang
bersifat pribadi. Oleh karena itu, HAM sekaligus
bersifat universal, tidak terbatas pada golongan manusia tertentu, tanpa pilih
kasih.
Kendatipun
otonom (karena martabatnya yang mempribadi), manusia serentak bersifat sosial (ens sociale). Dalam hidupnya, manusia yang satu mesti mengalami
perjumpaan dan ada bersama dengan yang lain. Maka, jelaslah, HAM juga saling
bertemu. Untuk itu, seperti mata uang, mesti ada sisi yang lain. ‘Pacem in
Terris’ menyebut sisi lain itu sebagai kewajiban-kewajiban. ‘Hak-hak kodrati
yang diuraikan hingga sekarang, tidak terceraikan dari sekian banyak kewajiban,
yang semuanya berlaku bagi pribadi yang sama. Hak-hak maupun
kewajiban-kewajiban itu bertumpu pada hukum kodrati, ditopang olehnya, dan
karenanya, tidak terhapuskan. Seraya memberi hak-hak, hukum kodrati
menggariskan kewajiban-kewajiban’ (art. 28). Hal ini berarti, HAM selalu
diikuti KAM (Kewajiban Asasi Manusia), KAM selalu bersama HAM, dua entitas yang
mana satu tak bisa jauh terlepas dari yang lain. Ada kewajiban untuk memelihara
hidup sendiri dan orang lain (art. 29 dan 32), kewajiban untuk mengakui dan
menghormati sesama (art. 30), kewajiban untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat (art. 31), kewajiban membangun masyarakat (art. 33), serta kerja sama
dan tanggung jawab (art. 34).
Tugas Kita
Kini, dengan amat benderang kita dapat menangkap apa kata Ensiklik ‘Pacem in
Terris’ tentang HAM. Bahwasannya, HAM itu melekat erat pada setiap manusia
sebagai magnum miraculum yang bermartabat. Dan, HAM selalu diikuti
dengan kewajiban-kewajiban. Akhirnya, dan sekiranya tidak diabaikan begitu
saja, poin kunci yang menjadi landasan bagi berdirinya relasi timbal-balik HAM
dan KAM ialah kebenaran dan keadilan (art. 35).
Sampai
di sini, setelah kita, baik langsung maupun tidak langsung mendengar atau
menyaksikan maraknya pelanggaran HAM di mana-mana, kita, terutama anggota
Gereja tidak diharapkan untuk diam, bungkam. Entah dalam skala yang paling
global, lalu nasional, dan lokal dalam keseharian hidup kita, ‘Pacem in
Terris’ hendaknya menjadi landasan dan kekuatan untuk berjuang bagi kemanusiaan
kita dan sesama kita. Kita sedang mengikuti Kristus yang wafat demi membela HAM
orang-orang kecil dan ‘Pacem in Terris’ menjadi semacam nutrisi baru bagi perjuangan kita. ***
__________________________________
__________________________________
Artikel ini disiarkan dalam kolom opini TIMEX, Sabtu, 30 Januari 2016.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar