- Cerpen Er El Em*
I
Siang itu, entah mengapa, saya
tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Kau tahu benda sejarah itu,
kan? Kalau kau anak Flores kelahiran 90-an ke bawah, saya pastikan kau masih
mengingatnya. Meski samar-samar. Seperti mata tua yang mulai rabun menatap
benda apa saja di kejauhan. Namun, jika kau anak 2000-an ke atas, saya tak
dapat menjamin. Seperti angin yang berhembus tak selalu menjamin hujan ‘kan
mampir.
II
Dulu, dulu sekali, ketika saya masih hijau-belia dan
belum tahu apa-apa tentang cinta, asmara, sakit hati, apalagi galau, mesin
ketik begitu dekat dalam keseharian hidup saya. Kau tahu, kala itu, memasuki
ruangan guru berarti siap mendengar tuk-tak-tuk-tak dari balik lemari besar.
Lemari yang dijejali buku-buku tua. Buku tulis, kebanyakkan. Di bagian atap
lemari, tentu berjejer sejumlah piala. Juara I lomba tarik tambang, juara III lomba
lari 100 meter puteri, juara harapan II lomba makan kerupuk se-Kecamatan Golewa,
dan beberapa lagi yang tulisannya sudah pudar. Singkat kata, menatap barisan
piala macam itu berarti menatap pencapaian yang menguras keringat, air mata,
bahkan darah, jika tak berlebihan. Itulah sebabnya piala-piala tak pernah
ditempatkan pada tempat yang lebih rendah. Selalu paling tinggi. Pada atap
lemari besar. Jauh sesudah itu baru saya sadar, dalam hati saya, hanya ada satu
piala. Juara istimewa dalam lomba memenangkan hatimu.
Adalah Kepala Sekolah kami, Pak David -saya menyapanya
Opa David- yang konon paling setia menggunakan mesin ketik. Tuk-tak-tuk-tak.
Iramanya apik, bunyinya khas, kerap memecah keheningan di SDN Koeloda, apalagi
ketika sedang dalam masa ujian caturwulan 1, 2, atau 3. Seperti denting lonceng
gereja, seperti suara beduk masjid yang memanggilmu kembali kepada Sang Mahamerdu
dalam khusuk yang ramai. Opa David minus berat. Kacamata selebar gula lempeng
Oesapa setia menemani dua bola matanya yang kerut, tapi tetap tajam dan
kebapaan. “Dibutuhkan ketelitian yang tinggi, jika tidak ingin mengulang-ulang
kesalahan yang sama dalam pengetikkan..!” Nada suara Opa terdengar serius.
Beberapa guru muda mengangguk setuju sambil terus mengamati jemari Opa yang
piawai menari pada tuts-tuts mesin ketik tua itu. Tuts-tuts yang kadang tak
ramah pada telunjuknya. Ketelitian yang
tinggi. Kata-kata kunci ini saya catat dan simpan rapih dalam dada.
Sebagaimana Opa David, Ibu Mar Tina pun demikian. Beberapa
kali bunyi tuk-tak-tuk-tak itu saya dengar datang dari arah sekretariat Paroki
Roh Kudus Mataloko. Jika sepoi berhembus mesrah ke arah saya, tuk-tak-tuk-tak
itu sudah dapat saya dengar meski saya baru tiba di gerbang pastoran. Bunyi
mesin ketik pada siang yang bolong kadang-kadang menyergap ruang dengar saya
yang paling sensitif. Seperti mendengar jeritanmu pada malam tutup tahun 2014
yang tak perlu terlalu detail diuraikan di sini. Menggairahkan! Saya selalu
mendapati Ibu Mar Tina tengah tekun di meja kerjanya. Kerja sama yang telaten
antara mata dan jemari menjadi syarat mutlak dalam pengetikkan surat
permandian, akta kelahiran, status liber, atau surat-surat lainnya. Diam-diam
saya mengintipnya dari jendela sekretariat paroki, sampai akhirnya Ibu Mar Tina
menegur dan memanggil saya masuk. Ibu Mar Tina sudah terlalu jitu dalam
membidik gerak-laku anak-anak Sekami yang nakal macam saya. Sambil menggenggam
beberapa buah permen kuda pemberiannya, saya pun meninggalkan Ibu Mar Tina.
Saya sempat menoleh ke belakang. Mata saya yang imut bertemu mata Ibu Mar Tina
yang gagah. Senyumnya merekah. Seperti mawar. Seperti mentari pagi dari balik
Ebulobo. Kerja sama antara mata dan
jemari. Saya catat, saya simpan rapat-rapat bersama ketelitian yang tinggi.
III
Siang itu, entah mengapa, saya
tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Di hadapan kami, -Ka Oan,
Gemboel, dan saya- sudah terhidang nasi putih, kangkung tumis, udang goreng,
cumi-cumi pedas, jus sirsak, dan sebotol bir bintang. Juga lombok tomat,
sebelum saya lupa. Ka Oan juga ternyata punya kenangan tersendiri. “Mesin ketik
biasanya anti-pemutih atau tip-x..!” Itu berarti, keseriusan sejak pengetikkan
paling perdana menjadi amat penting. Gomboel menambahkan, “Ukurannya yang
besar, berat, dan antik, mengharuskan mesin ketik itu dijaga dan dirawat dengan
hati..!”
Siang itu, entah
mengapa, saya tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Doa makan
siang saya itu bunyinya begini: Tuhan,
Sang Mahamampu yang melampaui segala mesin, kirimkan saya sebuah mesin ketik,
agar saya belajar memiliki ketelitian yang tinggi, kerja sama yang apik
antarorgan tubuh, keseriusan, kemampuan menjaga, dan rasa syukur menikmati
hidangan ini. Amin.
VI
Sampai ketika kisah
ini selesai ditulis, saya masih berjuang untuk memiliki mesin ketik. Semoga kau
dapat membantu saya. Memiliki mesin ketik sama baiknya dengan memelihara
kenangan. Kenangan masa kecil kita.
(Bajawa, 10 Juni 2016)
_________________________________________
*Er El Em, spesialis makanan pedas-pedis,
yang sedang mengumpulkan topi-topi. Bercita-cita jadi peternak babi dan membangun
jaringan para peternak lintas-kabupaten.
Mencintai fotografi dan lombok tomat. Juga bibirmu.
[Cerpen ini dapat pula dibaca dalam Warta Flobamora, Edisi 41, Juni 2016, hlm. 47.]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar