Rabu, 15 Juni 2016

Mesin Ketik



- Cerpen Er El Em*


I
Siang itu, entah mengapa, saya tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Kau tahu benda sejarah itu, kan? Kalau kau anak Flores kelahiran 90-an ke bawah, saya pastikan kau masih mengingatnya. Meski samar-samar. Seperti mata tua yang mulai rabun menatap benda apa saja di kejauhan. Namun, jika kau anak 2000-an ke atas, saya tak dapat menjamin. Seperti angin yang berhembus tak selalu menjamin hujan ‘kan mampir.


 II
            Dulu, dulu sekali, ketika saya masih hijau-belia dan belum tahu apa-apa tentang cinta, asmara, sakit hati, apalagi galau, mesin ketik begitu dekat dalam keseharian hidup saya. Kau tahu, kala itu, memasuki ruangan guru berarti siap mendengar tuk-tak-tuk-tak dari balik lemari besar. Lemari yang dijejali buku-buku tua. Buku tulis, kebanyakkan. Di bagian atap lemari, tentu berjejer sejumlah piala. Juara I lomba tarik tambang, juara III lomba lari 100 meter puteri, juara harapan II lomba makan kerupuk se-Kecamatan Golewa, dan beberapa lagi yang tulisannya sudah pudar. Singkat kata, menatap barisan piala macam itu berarti menatap pencapaian yang menguras keringat, air mata, bahkan darah, jika tak berlebihan. Itulah sebabnya piala-piala tak pernah ditempatkan pada tempat yang lebih rendah. Selalu paling tinggi. Pada atap lemari besar. Jauh sesudah itu baru saya sadar, dalam hati saya, hanya ada satu piala. Juara istimewa dalam lomba memenangkan hatimu. 




            Adalah Kepala Sekolah kami, Pak David -saya menyapanya Opa David- yang konon paling setia menggunakan mesin ketik. Tuk-tak-tuk-tak. Iramanya apik, bunyinya khas, kerap memecah keheningan di SDN Koeloda, apalagi ketika sedang dalam masa ujian caturwulan 1, 2, atau 3. Seperti denting lonceng gereja, seperti suara beduk masjid yang memanggilmu kembali kepada Sang Mahamerdu dalam khusuk yang ramai. Opa David minus berat. Kacamata selebar gula lempeng Oesapa setia menemani dua bola matanya yang kerut, tapi tetap tajam dan kebapaan. “Dibutuhkan ketelitian yang tinggi, jika tidak ingin mengulang-ulang kesalahan yang sama dalam pengetikkan..!” Nada suara Opa terdengar serius. Beberapa guru muda mengangguk setuju sambil terus mengamati jemari Opa yang piawai menari pada tuts-tuts mesin ketik tua itu. Tuts-tuts yang kadang tak ramah pada telunjuknya. Ketelitian yang tinggi. Kata-kata kunci ini saya catat dan simpan rapih dalam dada. 

            Sebagaimana Opa David, Ibu Mar Tina pun demikian. Beberapa kali bunyi tuk-tak-tuk-tak itu saya dengar datang dari arah sekretariat Paroki Roh Kudus Mataloko. Jika sepoi berhembus mesrah ke arah saya, tuk-tak-tuk-tak itu sudah dapat saya dengar meski saya baru tiba di gerbang pastoran. Bunyi mesin ketik pada siang yang bolong kadang-kadang menyergap ruang dengar saya yang paling sensitif. Seperti mendengar jeritanmu pada malam tutup tahun 2014 yang tak perlu terlalu detail diuraikan di sini. Menggairahkan! Saya selalu mendapati Ibu Mar Tina tengah tekun di meja kerjanya. Kerja sama yang telaten antara mata dan jemari menjadi syarat mutlak dalam pengetikkan surat permandian, akta kelahiran, status liber, atau surat-surat lainnya. Diam-diam saya mengintipnya dari jendela sekretariat paroki, sampai akhirnya Ibu Mar Tina menegur dan memanggil saya masuk. Ibu Mar Tina sudah terlalu jitu dalam membidik gerak-laku anak-anak Sekami yang nakal macam saya. Sambil menggenggam beberapa buah permen kuda pemberiannya, saya pun meninggalkan Ibu Mar Tina. Saya sempat menoleh ke belakang. Mata saya yang imut bertemu mata Ibu Mar Tina yang gagah. Senyumnya merekah. Seperti mawar. Seperti mentari pagi dari balik Ebulobo. Kerja sama antara mata dan jemari. Saya catat, saya simpan rapat-rapat bersama ketelitian yang tinggi.  

III
            Siang itu, entah mengapa, saya tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Di hadapan kami, -Ka Oan, Gemboel, dan saya- sudah terhidang nasi putih, kangkung tumis, udang goreng, cumi-cumi pedas, jus sirsak, dan sebotol bir bintang. Juga lombok tomat, sebelum saya lupa. Ka Oan juga ternyata punya kenangan tersendiri. “Mesin ketik biasanya anti-pemutih atau tip-x..!” Itu berarti, keseriusan sejak pengetikkan paling perdana menjadi amat penting. Gomboel menambahkan, “Ukurannya yang besar, berat, dan antik, mengharuskan mesin ketik itu dijaga dan dirawat dengan hati..!” 

Siang itu, entah mengapa, saya tiba-tiba ingin sekali memiliki sebuah mesik ketik. Doa makan siang saya itu bunyinya begini: Tuhan, Sang Mahamampu yang melampaui segala mesin, kirimkan saya sebuah mesin ketik, agar saya belajar memiliki ketelitian yang tinggi, kerja sama yang apik antarorgan tubuh, keseriusan, kemampuan menjaga, dan rasa syukur menikmati hidangan ini. Amin. 

  
VI
Sampai ketika kisah ini selesai ditulis, saya masih berjuang untuk memiliki mesin ketik. Semoga kau dapat membantu saya. Memiliki mesin ketik sama baiknya dengan memelihara kenangan. Kenangan masa kecil kita.
(Bajawa, 10 Juni 2016)

_________________________________________
*Er El Em, spesialis makanan pedas-pedis, yang sedang mengumpulkan topi-topi. Bercita-cita jadi peternak babi dan membangun jaringan para peternak lintas-kabupaten. Mencintai fotografi dan lombok tomat. Juga bibirmu.



[Cerpen ini dapat pula dibaca dalam Warta Flobamora, Edisi 41, Juni 2016, hlm. 47.]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar