- Situs Wisata Budaya
Kampung
Adat Be'a yang dipotret dari Bheto Padhi dengan latar belakang jurang
(Jerebu'u) dan bebukitan yang mengelilingi Jerebu'u. Gunung Inerie juga dapat
dinikmati sambil minum kopi atau makan sirih-pinang
dari Kampung Adat Be’a.
Jika berbicara mengenai sasaran
wisata yang berada di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores-NTT, pikiran bahkan
imajinasi khalayak (wisatawati/wan lokal, domestik, maupun asing) tentu saja
digiring menuju Kampung Adat Bena dan Pemandian Air Panas So’a. Memang,
keduanya seperti telah menjadi ikon wisata bagi Bajawa, kota dingin yang selalu
diselimuti kabut. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya Bena
dan So’a. Ada pun begitu banyak kampung adat yang tersebar di wilayah Ngada,
baik di Aimere, Jerebu’u, Golewa, Riung, maupun Bajawa itu sendiri. Berikut
ini, saya sajikan informasi singkat mengenai Kampung Adat Be’a.
Sa'o atau
rumah adat yang berjejer rapih.
Sebelum Kecamatan Golewa mekar, secara administratif, Be’a merupakan bagian dari Desa Rakateda I, Kelurahan Mangulewa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Setelah Golewa mekar, Be’a bergabung dalam Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, bersama Bheto Padhi dan Welu (Pawe). Berdasarkan posisi, dari arah Mangulewa, Be’a terletak setelah Welu dan Bheto Padhi; sedangkan dari arah Nage, Jerebu’u, Be’a berada pada posisi pertama (jalur ini belum maksimal, sedang dalam pengerjaan) dan dari arah Bena, Jerebu’u, Be’a berada di sisi kanan Bheto Padhi. Be’a berada di posisi paling rendah, berbentuk seperti angka 8, Be’a A dan B.
Tiga buah
'Bhaga' mewakili banyak 'Bhaga' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan dari
leluruh perempuan.
Umumnya, cuaca dan iklim di Be’a sama seperti di Mataloko, Kota Bajawa, dan sekitar Kota Bajawa, berbeda dengan Riung dan Aimere yang terletak di pesisir pantai. Mata pencaharian utama masyarakat Be’a ialah bertani dan berladang, sambil memelihara ternak. Pesta adat Reba diadakan setiap akhir bulan Desember, sedangkan Ka Sa’o (renovasi rumah adat dan penghormatan pada leluhur) dan ritual adat lainnya ditetapkan sesuai keputusan masing-masing suku. Hospitalitas atau keramahan masyarakat Be’a sangat tinggi, prinsip ‘tamu adalah raja’ masih berlaku di sana. Di samping itu, ikatan kekeluargaan-persaudaraan (modhe ne’e hoga woe, meku ne’e doa delu) masih sangat kental, gotong-royong (se boge kita riu roe, se kepo kita nari nedo atau su’u papa suru, sa’a papa laka), dan keberakaran pada budaya masih kuat tertanam.
Tiga buah
'Ngadhu' mewakili banyak 'Ngadhu' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan
dari leluhur laki-laki.
Salah
satu model tangga masuk menuju Sa'o.
Be’a itu memang ‘surga’ yang masih
sepi pengunjung lantaran sangat jarang dipromosikan. Sebagaimana kampung adat
lainnya, Be’a juga memiliki buku tamu. Hanya saja, tidak sebanding dengan Bena,
Wogo, atau Gurusina dalam jumlah wisatawati/wan yang berkunjung. Sekiranya
melalui sajian ini, mata para pelancong mulai mengarah ke sana. Saya pastikan,
tetap ada yang mampu memikat dan membekas dari Be’a, ‘surga’ yang sepi itu. Oh
ya, sebelum lupa, sering-seringlah ke Be’a, siapa tahu, nenek-moyang merestui
hubungan kita.***
Jagung (sebagai salah satu komoditi) yang dijemur, dengan latar belakang
bubungan Sa’o dan Gunung Inerie.
Bebatuan
ceper yang tersusun di tengah kampung.
Tanduk kerbau dan
rahang babi yang digantung, salah satu simbol
kewibawaan.
Sejumlah ibu yang sedang tekun menampih beras dalam sebuah hajatan,
contoh kerja sama yang masih kuat.
Kuburan
gaya lama yang terdapat di halaman Sa'o.
________________
**Promosi Situs Wisata ini pernah dimuat dalam Warta Flobamora, Edisi 36, Januari 2016, hlm. 26.
- teks dan gambar: Er El Em dan _korokodjo photography_










Tidak ada komentar:
Posting Komentar