Rabu, 22 Juni 2016

Be’a: ‘Surga’ yang Masih Sepi Pengunjung


- Situs Wisata Budaya


Kampung Adat Be'a yang dipotret dari Bheto Padhi dengan latar belakang jurang (Jerebu'u) dan bebukitan yang mengelilingi Jerebu'u. Gunung Inerie juga dapat dinikmati sambil minum kopi atau makan sirih-pinang 
dari Kampung Adat Be’a.




Jika berbicara mengenai sasaran wisata yang berada di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores-NTT, pikiran bahkan imajinasi khalayak (wisatawati/wan lokal, domestik, maupun asing) tentu saja digiring menuju Kampung Adat Bena dan Pemandian Air Panas So’a. Memang, keduanya seperti telah menjadi ikon wisata bagi Bajawa, kota dingin yang selalu diselimuti kabut. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya Bena dan So’a. Ada pun begitu banyak kampung adat yang tersebar di wilayah Ngada, baik di Aimere, Jerebu’u, Golewa, Riung, maupun Bajawa itu sendiri. Berikut ini, saya sajikan informasi singkat mengenai Kampung Adat Be’a.

Sa'o atau rumah adat yang berjejer rapih.




Sebelum Kecamatan Golewa mekar, secara administratif, Be’a merupakan bagian dari Desa Rakateda I, Kelurahan Mangulewa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Setelah Golewa mekar, Be’a bergabung dalam Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, bersama Bheto Padhi dan Welu (Pawe). Berdasarkan posisi, dari arah Mangulewa, Be’a terletak setelah Welu dan Bheto Padhi; sedangkan dari arah Nage, Jerebu’u, Be’a berada pada posisi pertama (jalur ini belum maksimal, sedang dalam pengerjaan) dan dari arah Bena, Jerebu’u, Be’a berada di sisi kanan Bheto Padhi. Be’a berada di posisi paling rendah, berbentuk seperti angka 8, Be’a A dan B.




Tiga buah 'Bhaga' mewakili banyak 'Bhaga' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan dari leluruh perempuan.



Umumnya, cuaca dan iklim di Be’a sama seperti di Mataloko, Kota Bajawa, dan sekitar Kota Bajawa, berbeda dengan Riung dan Aimere yang terletak di pesisir pantai. Mata pencaharian utama masyarakat Be’a ialah bertani dan berladang, sambil memelihara ternak. Pesta adat Reba diadakan setiap akhir bulan Desember, sedangkan Ka Sa’o (renovasi rumah adat dan penghormatan pada leluhur) dan ritual adat lainnya ditetapkan sesuai keputusan masing-masing suku. Hospitalitas atau keramahan masyarakat Be’a sangat tinggi, prinsip ‘tamu adalah raja’ masih berlaku di sana. Di samping itu, ikatan kekeluargaan-persaudaraan (modhe ne’e hoga woe, meku ne’e doa delu) masih sangat kental, gotong-royong (se boge kita riu roe, se kepo kita nari nedo atau su’u papa suru, sa’a papa laka), dan keberakaran pada budaya masih kuat tertanam. 



Tiga buah 'Ngadhu' mewakili banyak 'Ngadhu' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan dari leluhur laki-laki.




Salah satu model tangga masuk menuju Sa'o.
 


            Be’a itu memang ‘surga’ yang masih sepi pengunjung lantaran sangat jarang dipromosikan. Sebagaimana kampung adat lainnya, Be’a juga memiliki buku tamu. Hanya saja, tidak sebanding dengan Bena, Wogo, atau Gurusina dalam jumlah wisatawati/wan yang berkunjung. Sekiranya melalui sajian ini, mata para pelancong mulai mengarah ke sana. Saya pastikan, tetap ada yang mampu memikat dan membekas dari Be’a, ‘surga’ yang sepi itu. Oh ya, sebelum lupa, sering-seringlah ke Be’a, siapa tahu, nenek-moyang merestui hubungan kita.***  


Jagung (sebagai salah satu komoditi) yang dijemur, dengan latar belakang bubungan Sa’o dan Gunung Inerie.




                                                                 Bebatuan ceper yang tersusun di tengah kampung.




Tanduk kerbau dan rahang babi yang digantung, salah satu simbol kewibawaan.



Sejumlah ibu yang sedang tekun menampih beras dalam sebuah hajatan, contoh kerja sama yang masih kuat.




Kuburan gaya lama yang terdapat di halaman Sa'o.





________________
**Promosi Situs Wisata ini pernah dimuat dalam Warta Flobamora, Edisi 36, Januari 2016, hlm. 26.

- teks dan gambar: Er El Em dan _korokodjo photography_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar