Sabtu, 25 Juni 2016

Dari, Oleh, dan Untuk Nian Tana Sikka




  • Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana)
  • Membangkitkan Kembali Sastra dalam Keseharian Hidup
  • Masa Muda adalah Masa Kreatif untuk Membawa Perubahan

Pada mulanya adalah gagasan. Gagasan itu ada dan berkeliaran dalam benak dan hati hampir semua orang muda itu. Yah, gagasan tentang terbentuknya sebuah wadah, tepatnya sebuah komunitas yang memberi penekanan pada sastra. Mengapa sastra? Jawabannya jelas, bahwa sastra telah ada sejak dahulu, kini, dan nanti sampai kekal. Selain itu, bahwa sastra sebetulnya sangat dekat dengan keseharian hidup setiap orang, dan bahwa sadar atau tidak, hampir setiap hari setiap orang bersastra. Dan yang tak kalah peting ialah bahwa lama belakangan ini, sastra sepertinya tidak punya tempat di tengah masyarakat.

Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana)
Terinspirasi dari berdiri dan hidupnya komunitas-komunitas sastra yang berada di daerah lain, beberapa orang muda Nian Tana Sikka mulai berkumpul, dan terkejut bahwa sebetulnya gagasan-gagasana mereka sama. Sebagai tindak lanjutnya, pada pertengahan Juni 2015, sebuah Grup Facebook bernama ‘Sastra Nian Tana’ dibuat. Promosi mulai gencar dilakukan, ajakan demi ajakan untuk bergabung terus disuarakan, sehingga dari hari ke hari, anggota yang bergabung semakin menanjak. Namun, kemudian disadari bahwa kendatipun teknologi internet telah berkembang amat pesat, sebuah komunitas yang ideal tidak hanya tinggal diam di dunia maya. Dan memang, sampai saat itu, para anggota yang tergabung dalam ‘Sastra Nian Tana’ belum sekali pun bersua rupa, bertukar pikir, berbagi tutur, juga merajut ide. Sebuah pertemuan atau kopdar (kopi daratan, artinya berkumpul bersama) memang harus betul-betul digelar.
Adalah Rizal, Valentino, dan Eka yang pada malam itu benar-benar bebas dari kesibukkan dan berkesempatan untuk bersua. Di taman Patung Teka Iku, ketiga orang muda ini mulai ‘menggila’, sampai-sampai beberapa pengunjung yang sama-sama berada di taman itu merasa sedikit ‘terusik’. Bicara sana bicara sini, baca puisi satu pindah puisi lain, tertawa ini tertawa itu, tibalah mereka pada sebuah permenungan yang amat serius, yakni soal nama yang lebih cocok bagi, tepatnya untuk melengkapi ‘Sastra Nian Tana’. Dari antara banyak ide, ‘Ringkik’ awalnya cukup menarik. Ketiganya terbahak sendiri. Geli, lucu. Alasannya jelas, pertemuan itu terjadi di bawah Patung Kuda dan Penunggangnya. Yah, kuda yang me-‘Ringkik’, yang perkasa, yang gagah, berani. Namun, filosofi ‘Ringkik’ masih amat kurang untuk mendasari sebuah komunitas yang insya Allah akan berkembang pesat nantinya. Untuk itu, mesti ada satu nama yang punya arti mendalam, yang betul-betul berakar dari langit-bumi Nian Tana Sikka, yang berdaya menjiwai, yang memiliki kekuatan yang mengikat. Maka, sampailah mereka pada ‘Semacam Pekikan, Seruan, Kebesaran’ yang dalam bahasa daerah disebut: KAHE..! Ketiganya terdiam sejenak. Ketiganya telah menemukan roh, yah, roh yang menggelora dalam batin. Jadilah, ‘Sastra Nian Tana’ pada waktu itu juga membaptis dirinya menjadi Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana), yang resmi lahir malam itu, 24 Oktober 2015. 

Membangkitkan Kembali Sastra dalam Keseharian Hidup
KAHE...! ternyata betul-betul menginspirasi, tidak hanya enak dalam penyebutannya, tetapi serentak membentangkan filosofi yang amat mendalam. Yah, dari rahim Sikka dan oleh orang-orang muda yang terlanjur jatuh cinta pada Sikka dan sastra. Sejak saat itu, kopdar demi kopdar mulai digiatkan. Cafe Sonia pun menjadi semacam ‘ibu’ baru bagi geliat sastra yang semakin menjadi dalam Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana).
Sejauh ini, sudah ada beberapa kegiatan kesusastraan yang dihidupi. Para anggota sudah mulai dengan diskusi sastra, memilih tokoh atau sastrawan tertentu, seorang anggota komunitas diminta menyiapkan profil atau tafsiran atau sejenisnya, lalu dipresentasi dan didiskusikan. Joko Pinurbo menjadi tokoh pertama yang dipilih. Diskusi dilangsungkan di Cafe Sonia, diawali, disisipi, dan diakhiri dengan membacakan puisi-puisi karya Jokpin. Lalu, tokoh kedua yang diulas ialah Kahlil Gibran. Bertempat di Magepanda, Minggu (28/02/2016), seluruh anggota Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) bertolak menuju kediaman Hengky Ola Sura (Magepanda: sebelah utara Kota Maumere). Selain mendiskusikan Gibran, Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) juga mengapresiasi ‘Catatan Kenangan’ (2015), buku antologi puisi karya Hengky. Puisi-puisi Hengky dibacakan di sela-sela diskusi.
Selain diskusi sastra di antara anggota, Radio Sonia FM juga memberikan kesempatan kepada Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) untuk mengisi sesi Sastra dan Budaya setiap Rabu malam. Berawal dari syering pengalaman menulis kreatif bersama Dicky Senda (cerpenis NTT), Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) selalu konsisten tampil di Sonia. Tokoh-tokoh sastra yang telah didiskusikan, kembali disiarkan pada kesempatan itu. Selain itu, Budaya dan Sastra Lokal juga mulai dihidupi. Untuk sementara, inilah kiranya sumbangan Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) teruntuk Nian Tana Sikka.


Masa Muda adalah Masa Kreatif untuk Membawa Perubahan
            Saya suka mengutip Karl Marx, bahwasannya, sebagaimana filsafat, sastra atau komunitas sastra (ini tambahan saya) mestilah revolusioner, sebab jika tidak, itu sama halnya dengan menimbun kebohongan. Nama positif lain dari revolusioner ialah membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) telah menyatakan itu, dengan tidak nyaman dalam menara gadingnya sendiri. Pada 14 Februari 2016, #KAHE diundang untuk ikut serta dalam Acara Valentine Bersama di Cafe Sonia. Pelbagai komunitas seni diundang dan #KAHE ikut ambil bagian lalu mulai dikenal luas. Lalu, pada 21 Februari 2016, #KAHE juga diundang untuk berpartisipasi memperingati Hari Sampah Nasional. Di bawah koordinasi Gerakan Pemuda Peduli Sampah-Maumere, #KAHE dan komunitas-komunitas lain terlibat dalam pembersihan pantai Wairhubing. Dan informasi terakhir, #KAHE turut diundang untuk ikut serta dalam KESAL (Kupang pEStA monoLog) yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas di Kupang, pada pertengahan Maret mendatang.
            Pertanyaan penting di bagian akhir ini, apa itu masa muda dan mau diisi dengan apa masa muda itu? Sudah saatnya aneka omong kosong yang selama ini dibuat mesti dihentikan. Sikka punya orang-orang muda yang kreatif, yang tekun, yang gigih, yang mempunyai cara mencintai yang khas. Sejauh ini, dalam rilis terakhir, para anggota yang tergabung dalam Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) di antaranya imam/pastor, aktivis lingkungan hidup, kaum peduli sampah, pakar hukum di PHB NUSRA, guru, crew Radio Sonia FM, editor video, fotografer, traveller, jurnalis, wartawan, dan sejumlah mahasiswa pionir dari STFK Ledalero. Besar harapan #KAHE, akan semakin banyak anggota yang bergabung, yakni dari kalangan bidan, perawat, dokter, dosen, teman-teman mahasiswi/a dari kampus lain, sopir, konjak, tukang ojek, teman-teman difabel, maupun para ODHA dan narapidana sekalipun. Komunitas #KAHE (Sastra Nian Tana) akan selalu terbuka lebar, karena #KAHE adalah dari, oleh, dan untuk Nian Tana Sikka. Bravo...! KAHE.....!***


________________________
*Pernah dimuat dalam salah satu edisi Pos Kupang Minggu, sebagaimana ditampilkan dalam gambar di atas.
-Er El Em

Rabu, 22 Juni 2016

Be’a: ‘Surga’ yang Masih Sepi Pengunjung


- Situs Wisata Budaya


Kampung Adat Be'a yang dipotret dari Bheto Padhi dengan latar belakang jurang (Jerebu'u) dan bebukitan yang mengelilingi Jerebu'u. Gunung Inerie juga dapat dinikmati sambil minum kopi atau makan sirih-pinang 
dari Kampung Adat Be’a.




Jika berbicara mengenai sasaran wisata yang berada di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores-NTT, pikiran bahkan imajinasi khalayak (wisatawati/wan lokal, domestik, maupun asing) tentu saja digiring menuju Kampung Adat Bena dan Pemandian Air Panas So’a. Memang, keduanya seperti telah menjadi ikon wisata bagi Bajawa, kota dingin yang selalu diselimuti kabut. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya Bena dan So’a. Ada pun begitu banyak kampung adat yang tersebar di wilayah Ngada, baik di Aimere, Jerebu’u, Golewa, Riung, maupun Bajawa itu sendiri. Berikut ini, saya sajikan informasi singkat mengenai Kampung Adat Be’a.

Sa'o atau rumah adat yang berjejer rapih.




Sebelum Kecamatan Golewa mekar, secara administratif, Be’a merupakan bagian dari Desa Rakateda I, Kelurahan Mangulewa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Setelah Golewa mekar, Be’a bergabung dalam Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, bersama Bheto Padhi dan Welu (Pawe). Berdasarkan posisi, dari arah Mangulewa, Be’a terletak setelah Welu dan Bheto Padhi; sedangkan dari arah Nage, Jerebu’u, Be’a berada pada posisi pertama (jalur ini belum maksimal, sedang dalam pengerjaan) dan dari arah Bena, Jerebu’u, Be’a berada di sisi kanan Bheto Padhi. Be’a berada di posisi paling rendah, berbentuk seperti angka 8, Be’a A dan B.




Tiga buah 'Bhaga' mewakili banyak 'Bhaga' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan dari leluruh perempuan.



Umumnya, cuaca dan iklim di Be’a sama seperti di Mataloko, Kota Bajawa, dan sekitar Kota Bajawa, berbeda dengan Riung dan Aimere yang terletak di pesisir pantai. Mata pencaharian utama masyarakat Be’a ialah bertani dan berladang, sambil memelihara ternak. Pesta adat Reba diadakan setiap akhir bulan Desember, sedangkan Ka Sa’o (renovasi rumah adat dan penghormatan pada leluhur) dan ritual adat lainnya ditetapkan sesuai keputusan masing-masing suku. Hospitalitas atau keramahan masyarakat Be’a sangat tinggi, prinsip ‘tamu adalah raja’ masih berlaku di sana. Di samping itu, ikatan kekeluargaan-persaudaraan (modhe ne’e hoga woe, meku ne’e doa delu) masih sangat kental, gotong-royong (se boge kita riu roe, se kepo kita nari nedo atau su’u papa suru, sa’a papa laka), dan keberakaran pada budaya masih kuat tertanam. 



Tiga buah 'Ngadhu' mewakili banyak 'Ngadhu' lainnya, yang diyakini sebagai perwujudan dari leluhur laki-laki.




Salah satu model tangga masuk menuju Sa'o.
 


            Be’a itu memang ‘surga’ yang masih sepi pengunjung lantaran sangat jarang dipromosikan. Sebagaimana kampung adat lainnya, Be’a juga memiliki buku tamu. Hanya saja, tidak sebanding dengan Bena, Wogo, atau Gurusina dalam jumlah wisatawati/wan yang berkunjung. Sekiranya melalui sajian ini, mata para pelancong mulai mengarah ke sana. Saya pastikan, tetap ada yang mampu memikat dan membekas dari Be’a, ‘surga’ yang sepi itu. Oh ya, sebelum lupa, sering-seringlah ke Be’a, siapa tahu, nenek-moyang merestui hubungan kita.***  


Jagung (sebagai salah satu komoditi) yang dijemur, dengan latar belakang bubungan Sa’o dan Gunung Inerie.




                                                                 Bebatuan ceper yang tersusun di tengah kampung.




Tanduk kerbau dan rahang babi yang digantung, salah satu simbol kewibawaan.



Sejumlah ibu yang sedang tekun menampih beras dalam sebuah hajatan, contoh kerja sama yang masih kuat.




Kuburan gaya lama yang terdapat di halaman Sa'o.





________________
**Promosi Situs Wisata ini pernah dimuat dalam Warta Flobamora, Edisi 36, Januari 2016, hlm. 26.

- teks dan gambar: Er El Em dan _korokodjo photography_