Oleh Reinard L. Meo
Mahasiswa
Alumnus
SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman)
Sebagai mahasiswa, saya
merasa malu dan terprovokasi, jika untuk mengatakan ‘saya terpukul’,
kedengarannya terlalu melankolis. Malu karena sejak ‘tragedi 7 Oktober’ di
Lasiana-Kupang itu, media-media massa kita ramai melansir kritik terhadap
mahasiswi/a. Terprovokasi karena ternyata, ‘maha’ yang dilekatkan pada
‘siswi/a’, tak selamanya baik. Dibangun di atas dasar ‘malu’ dan
‘terprovokasi’, tesis kunci yang akan saya elaborasi dalam artikel sederhana
ini ialah wajah ganda mahasiswi/a kita. Yang saya maksudkan dengan wajah ganda
tidak lain dan tidak bukan mengarah pada dua sisi yang inheren dalam diri setiap
manusia, positif dan negatif. Secara sangat ringkas, saya akan mulai dengan
wajah ‘kusut’ mahasiswi/a, lalu bertolak menuju wajah ‘berseri’-nya. Pada
bagian ketiga, wajah ganda ini akan diintegrasi melalui pertanyaan ‘Quo Vadis
Mahasiwi/a..?’, yang berakhir dengan beberapa poin urgen sebagai pembelajaran
bagi kita semua.
Wajah ‘Kusut’
Setelah
Saudara kita Fidelis Honto (22), tewas dalam bentrok saudara antara sekelompok
mahasiswa asal Manggarai Timur dan Manggarai Barat di Malang (Sabtu,
14/11/2015), baru-baru ini, hampir genap setahun, (Jumat, 7/10/2016), giliran
Severianus Lawan Geroda (24) yang mesti ‘pulang’ secara mengenaskan. Adrianus
Kia Beda (20) yang juga menjadi korban, kini tengah dirawat dan sekiranya cepat
pulih. Secara pribadi, ketika mendapat berita macam ini, saya lantas teringat
akan salah satu larik sajak Sapardi
Djoko Damono, “Dalam diri setiap kita, berjaga-jaga segerombolan serigala.”
Artinya
apa? Mengapa saya sebut ini sebagai wajah ‘kusut’? Jauh-jauh hari sebelum
Sapardi, filsuf politik yang memainkan posisi penting dalam refleksi tentang
Negara, Thomas Hobbes (1588-1679), telah angkat bicara soal ini. Posisi asali
sebuah masyarakat ialah bellum omnium
contra omnes, perang semua melawan semua. Ini berawal dari homo homini lupus, manusia itu serigala
bagi yang lain. Oleh karena factum primum
ini, lahirlah apa yang disebut Kontrak Sosial atau Konstitusi yang
berfungsi mengatur relasi intersubjek, antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain dalam sebuah masyarakat. Dari sana, Negara terbentuk. Refleksi Hobbes
dan Sapardi secara amat gamblang membenarkan fakta minor yang terjadi di Lasiana,
khususnya. Berita yang diturunkan dalam Pos
Kupang (Sabtu, 8/10/2016) jelas-jelas menunjukkan betapa kita masih
sebegitu mudahnya menjadi serigala bagi sesama. Dada kita makin terasa sesak
ketika tahu bahwa tragedi ini justru dipentaskan dalam sebuah acara wisuda,
ritual wajib tahunan yang masih diyakini sebagai klimaks dari segala perjuangan
selama studi. Ini wajah ‘kusut’ yang saya maksudkan. Bukan wajah para mahasiswi/a
yang kusut karena uang regis belum dikirim dari kampung atau pulsa data menipis,
melainkan sisi negatif yang mungkin dari mahasiswi/a, sebagaimana ‘tragedi 7
Oktober’ itu.
Wajah ‘Berseri’
Bahwa
‘terang’ dan ‘gelap’ selalu saling mengandaikan, demikian pula ada wajah ‘kusut’
ada pula wajah ‘berseri’. Dalam frasa purba yang optimis, mahasiswi/a tetap
merupakan agen perubahan. Saya merasa terdorong untuk mengangkat hal ini, sebab
jika tidak, akan terkubur mati begitu saja. Di sini saya sekaligus melayangkan
kritik atas sisi lemah prioritas informasi dan opini publik kita. Publik mudah
digiring oleh dan menuju isu yang menjengkelkan, ketimbang isu yang
konstruktif, yang membanggakan.
Mari kita lihat wajah ‘berseri’ mahasiswi/a itu, yang
saya himpun secara acak. Ratusan mahasiswi/a Undana, Politeknik Pertanian
Kupang, Stikes Maranatha, Fakultas Perikanan Universitas Muhamadiyah Kupang
(UMK), Walhi NTT, Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Agrawitaka Universitas Prof. Dr.
Moestopo Bragama-Jakarta, dan Lantamal VII Kupang, pernah ‘menyerang’ Pantai
Oesapa. Motif apa yang melatari aksi ini? Jawabannya amat fundamental dan
visioner. Terdorong oleh kepedulian ekologis, orang-orang muda ini terjun ke medan
bakti dan mulai menunjukkan sensitivitas mereka. Sampah-sampah dipungut, pantai
Oesapa dibersihkan. Di Pantai Paradiso, Oesapa Barat, sekitar 130 anakan
mangrove ditanam. Kepedulian ekologis, ini motif fundamentalnya, sedangkan
motif visionernya menyata dalam tujuan aksi ini yakni menyelamatkan pantai dari
abrasi dan menjaga keasriannya.
Senada dengan contoh di atas, Kelompok Minat FraPAla juga
mempresentasikan konsistensi mereka menjaga kelestarian alam. FraPAla itu
akronim dari Frater Pencinta Alam (yang sekaligus para mahasiswa STFK Ledalero),
sebuah kelompok minat yang lahir dari Rahim Seminari Tinggi St. Petrus
Ritapiret, Maumere. Didirikan pada 4 Oktober 1993 (bertepatan dengan Pesta St.
Fransiskus dari Asisi), FraPAla mengambil motto, Lex Interna Caritatis (Hukum Cinta Kasih). Kendatipun belum
sebegitu bergaungnya FraPAla di Nian Tana Sikka,
beberapa aksi konkret telah mereka lakukan demi menjaga integritas alam. Didorong
oleh spirit St. Fransiskus dari Asisi, para mahasiswa ini menanam bakau di
pantai utara Maumere, reboisasi di daerah tandus Nangarasong dan mata air Wair
Puang.
Aksi-aksi
yang merupakan penjabaran riil atas kepedulian ekologis yang terjadi di Kupang
dan Maumere ini, ditambah dengan menjamurnya komunitas-komunitas kreatif dalam
pelbagai bidang yang tersebar di seantero NTT dan kegiatan Peta Kaum Muda
Indonesia 2016 yang diselenggarakan oleh Tempo Insitute dalamnya para
mahasiswi/a turut ambil bagian, serentak menunjukkan bahwa ternyata sisi
positif dari mahasiswi/a itu jauh lebih besar. Ini yang saya maksudkan dengan
wajah ‘berseri’ itu.
‘Quo Vadis?’
Mengutip
Goenawan Mohamad, kita mesti ‘bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata’.
Rupanya, ‘maha’ yang dilekatkan pada ‘siswi/a’, tak selamanya berarti mulia.
Ada duka yang terselip atau mungkin lahir darinya. Catatan sesudah ‘tragedi 7
Oktober’ yang dirangkum dalam pertanyaan ‘Quo Vadis?’ ini secara tegas hendak
menggeledah kesadaran kolektif kita. Di satu sisi, para mahasiswi/a masih
terjebak dalam kekeliruan yang berujung pada anarkisme dan dekadensi moral
lainnya, sedangkan di sisi yang sisa, keterlibatan mereka dalam isu-isu ekologi,
politik, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan begitu menentukan. Ini dilema yang
krusial, ambivalensi yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Untuk aksi-aksi
positif yang menggambarkan wajah ‘berseri’ mahasiswi/a, sudah layak dan
sepantasnya ditingkatkan. Sebaliknya, wajah ‘kusut’ yang juga masih ditampilkan,
amat mendesak untuk ditanggapi, dievaluasi, dan direformasi oleh semua pihak.
Akhir kata, saya menyampaikan turut berduka atas
berpulangnya Rekan Severianus. Sekiranya tragedi ini diselesaikan secara adil
dan membebaskan. Catatan lain yang mesti kita diskusikan setelah ‘tragedi 7
Oktober’ ialah apakah para dosen yang berdiri di mimbar kuliah itu: menganimasi
atau mengindoktrinasi? ***