Sabtu, 02 Juni 2018

Utak-atik Bahasa Sendiri





bahasa daerah Bajawa dan artinya dalam bahasa Indonesia. mari simak dengan saksama:


I
taka: pacul
tuka: perut
teka: jual
téka: luka
toko: tulang
tuki: sorong (kayu api)

II
senu: kurang waras (biasa dipakai untuk olok)
sune: pilek
séne: nyeri (luka)



(foto: dokumentasi Flores zaman dahulu. tidak ada relasi antara apa yang saya bahas dan foto ini. so, kamu tidak perlu lama-lama di gambar ini. abaikan saja, bila perlu!)




III
bélo: lihat
zanga: lihat
tei: lihat
ngedho: lihat

catatan: masing-masing kata ini digunakan pada masing-masing konteksnya.

IV
kata yang paling sulit disebut oleh pengguna bahasa di luar kebudayaan ini adalah kata-kata yang huruf atau salah satu huruf konsonannya diikuti huruf 'h'. misalnya: bhogi - periuk, dhi - tuang.

yang sering keliru digunakan ialah Dewa Béka yang artinya Tuhan Berkati. sering ditulis Dewa Beka, atau fatalnya: Dewa Bheka (beka: piring tradisional yang diayam, bheka: pecah | bhéka: lepas).




kesimpulan sementara:

1. bahasa daerah Bajawa itu kompleks dan rumit,

2. dari bahasa daerah Bajawa, saya pribadi yakin bahwa huruf vokal itu ada 6, bukan 5, yakni: a, i, u, e, é, dan o. lihat contoh: bheka dan bhéka. (tapi, orang Bajawa punya bunyi sebutan sendiri terhadap huruf vokal ini - misalnya 'u' sebagai sapaan di kebun-kebun),

3. karena kompleks, sampai sekarang, bahasa ini belum dipelajari secara sungguh. orang-orang Bajawa belum punya cukup apa yang saya sebut sebagai 'interese linguis' (entah, dalam linguistik ada istilah khusus atau tidak untuk perkara ini) untuk bikin sebuah studi serius atau riset mendalam,

4. positifnya: orang Bajawa punya respons linguis yang cepat dan baik terhadap bahasa daerah lain, mudah tiru,

5. negatifnya: orang Bajawa paling suka bully bahasa daerah lain.


- Reinard L. Meo
Jumat, 1 Juni 2018

Sabtu, 23 September 2017

KREATIF!






Salah satu karya seni milik Matheus Sakeus, 
dalam pameran tunggalnya bertajuk 'Talk Activism'
di Hotel Pelangi, Labuan Bajo, 12 - 16 September 2017 

(foto: ER - korokodjo photography)




dulu, kurang tahu sekarang, di Seminari Todabelu - Mataloko, Selasa dan Jumat adalah English Day. artinya, segala aktivitas bersama, selalu dalam bahasa Inggris. kecuali jam sekolah pada hari bersangkutan. 'kan tidak mungkin, misalkan hari Selasa ada les Sejarah, dan Romo Selly harus ajar dalam bahasa Inggris. 'kan jelek to, kalau Romo tanya, "Sejarah, kue what itu?" tidak lucu. tapi, saya pernah jawab benar: "Kue masa lampau, Romo!" "Benar, Meo....!" Romo memuji, dengan senyum tak terlalu lebar. semi-sangar.


uniknya, selalu di kamar makan. misalkan, warga OSIS ingin umumkan sesuatu. kehilangan buku, misalnya. saya pernah pegang lonceng kamar makan selama satu tahun. you know lah, hanya staf inti OSIS yang bisa. secara, saya satu-satunya bendahara yang tinggalkan beberapa kata bijak di buku khas, pada akhir masa tugas. cari di mana lagi, coba?


saya ingat baik satu Teman. dia ada FB. tapi, biar rahasia saja. tidak perlu mention. dia umumkan ini. oh ia, setiap pengumuman selalu langsung diterjemahkan ke bahasa Indonesia, oleh yang bersangkutan.


"Thanks for the chance is given to me.
Good afternoon everybody.
I have lost a note book.
The colour is blue.
I put it on my table in class XII IPS.
Oke, I will translate it." dia mulai marah.


"Oke baik, sa ada kehilangan buku catatan. Warna biru. Sa simpan di sa pu meja di kelas dua belas i pe es. Anjing babi yang ambel tu, sa harap kasi kembali. Coba dengan malu tu ka, ambel orang punya barang. Sa su catat setengah mati, baru kau ambil buat macam kau punya milik. Lebih baik kau kasi pulang. Kasi langsung di saya atau simpan saja di sa pu meja di kelas. Benar, sa emosi ngeri. Biar kamu tertawa, tapi sa emosi sekali. Kamu tidak tahu sa pu orangtua banting tulang jemur kelapa di Kloangrotat sana, hanya untuk beli buku untuk saya, tapi kau ambel ti tau malu. Sa kasi waktu 24 jam. Kalo tida kembalikan, asli, sa pi tanya di BABINSA. Lasu mai ni. Thank you very much!"


dia kembali duduk. ludahnya beberapa kali muncrat dan masuk dalam termos sayur.
anggota meja merahasiakan kejorokan itu.


KREATIF itu, ketika kau omong dalam bahasa Inggris: 10 detik saja.
tapi terjemahannya bisa sampai 7 menit. plus caci-maki!



RLM, 22 Sept. 2017

Kamis, 21 September 2017

PUISI


Puisi-puisi Er El Em*
___________________


SENYUMMU

senyummu mengingatkan aku akan anakan bakau yang kutanam dulu di masa sekolah. katanya, 'mencegah abrasi..!' 
senyummu mengingatkan aku akan sejumlah sampah yang pernah kubersihkan di waktu senggang. katanya, 'biar asri..!'
senyummu mengingatkan aku akan pepohon yang tak jadi kutebang ketika butuh. katanya, 'sumber air..!'

senyumlah selalu, Sayang,
biar kuingat, aku pernah menjaga bumi.
tempat tinggal kau, aku, dan anak-cucu kita.
kita
!

(Mei 2016)



NATAL DI MATAMU

Di matamu, Natal masih kurayakan dengan getaran yang sama. Seperti awal kita berjumpa, pada malam yang abadi di jiwa. Tangisan bebayi pecah berkeping-keping, di matamu. Seperti cangkir kaca yang saban hari tak sengaja terlepas dari genggaman kita. Kerlap-kerlip lampu, di matamu, terus menari tak kenal lelah. Seperti angin yang tabah berhembus. Seperti cinta yang gagal tunduk pada keadaan.

Di matamu. Ada Natal.
Di Natalku. Matamu adalah semacam hadiah yang terbuat dari rindu!

(Desember 2016) 


*Er El Em, nama pena dari Reinard L. Meo. Buku perdana atas kumpulan puisi-puisinya berjudul ‘Segala Detikmu’ (Penerbit Bawah Arus, Oktober 2016).

Minggu, 11 Desember 2016

'Segala Detikmu'








SEGALA DETIKMU


Aku mencintaimu dengan segala detikmu
Laksana serpihan kaca yang pantulkan aura senja
Kadang keheningan membantuku bermimpi
Tentang desiran angin yang menyapu begitu menggoda
Mencintaimu adalah anugerah
Seindah cawan bening yang hiasi lemari kayu
Jauh di lorong jiwa ini
Terukir peluhmu
Terpahat betapa aku tak kuasa berpisah darimu


13 Januari 2013, Kuwu-Ruteng
 
 
______________________________________________________________________________
 
 
"Ada puisi bernama Perempuan, ada Bulu Mata, Alis Mata, Mata Ayah, Mata Ibu, Mata Wae. Tampaknya, Er El Em terpesona benar oleh mata, organ yang penuh rahasia, jendela jiwa yang bisa berbinar bisa pula redup, tetapi sekaligus menyimpan rapat-rapat rahasia dirinya." 


"Semisal dalam puisi 'Sibuk Mencari', Er El Em membenturkan religiositas dengan jemuran kena hujan yang lupa diangkat. Sederhananya, puisi Er El Em adalah sesuatu yang sangat cair hingga bisa mengarah ke mana saja, ke siapa saja, termasuk Anda." 



 

"adventus -3-"


untuk: eReLeM



segala detikMu
turun laksana hujan
menciumi candi
menyentuh hati

di pelataran jiwa tersisa sebaris tanya:
"Engkaukah itu? atau, adakah yg lain yg harus kami nanti?"

segala detikMu menjadi Sabda:
yg buta melihat
yg lumpuh berjalan
yg bisu berbicara
yg tuli mendengar ...
dan kau sendiri?

di situ kadang aku merasa sedih
aku belum mengerti, Tuhan,
aku rupanya belum punya apa-apa
untuk kedatanganMu


Sanpio × 11/12, 2016; 17.14 am. Selalu.




Oleh: Edo Sateng
Lihat: https://www.facebook.com/edo.sateng/posts/740478859438468?comment_id=740492582770429&ref=notif&notif_t=mentions_comment&notif_id=1481449740554731

Kamis, 03 November 2016

‘Tragedi 7 Oktober’ dan Catatan Sesudahnya



Oleh Reinard L. Meo
Mahasiswa
Alumnus SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman)



Sebagai mahasiswa, saya merasa malu dan terprovokasi, jika untuk mengatakan ‘saya terpukul’, kedengarannya terlalu melankolis. Malu karena sejak ‘tragedi 7 Oktober’ di Lasiana-Kupang itu, media-media massa kita ramai melansir kritik terhadap mahasiswi/a. Terprovokasi karena ternyata, ‘maha’ yang dilekatkan pada ‘siswi/a’, tak selamanya baik. Dibangun di atas dasar ‘malu’ dan ‘terprovokasi’, tesis kunci yang akan saya elaborasi dalam artikel sederhana ini ialah wajah ganda mahasiswi/a kita. Yang saya maksudkan dengan wajah ganda tidak lain dan tidak bukan mengarah pada dua sisi yang inheren dalam diri setiap manusia, positif dan negatif. Secara sangat ringkas, saya akan mulai dengan wajah ‘kusut’ mahasiswi/a, lalu bertolak menuju wajah ‘berseri’-nya. Pada bagian ketiga, wajah ganda ini akan diintegrasi melalui pertanyaan ‘Quo Vadis Mahasiwi/a..?’, yang berakhir dengan beberapa poin urgen sebagai pembelajaran bagi kita semua. 

Wajah ‘Kusut’
Setelah Saudara kita Fidelis Honto (22), tewas dalam bentrok saudara antara sekelompok mahasiswa asal Manggarai Timur dan Manggarai Barat di Malang (Sabtu, 14/11/2015), baru-baru ini, hampir genap setahun, (Jumat, 7/10/2016), giliran Severianus Lawan Geroda (24) yang mesti ‘pulang’ secara mengenaskan. Adrianus Kia Beda (20) yang juga menjadi korban, kini tengah dirawat dan sekiranya cepat pulih. Secara pribadi, ketika mendapat berita macam ini, saya lantas teringat akan salah satu larik sajak Sapardi Djoko Damono, “Dalam diri setiap kita, berjaga-jaga segerombolan serigala.”
Artinya apa? Mengapa saya sebut ini sebagai wajah ‘kusut’? Jauh-jauh hari sebelum Sapardi, filsuf politik yang memainkan posisi penting dalam refleksi tentang Negara, Thomas Hobbes (1588-1679), telah angkat bicara soal ini. Posisi asali sebuah masyarakat ialah bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua. Ini berawal dari homo homini lupus, manusia itu serigala bagi yang lain. Oleh karena factum primum ini, lahirlah apa yang disebut Kontrak Sosial atau Konstitusi yang berfungsi mengatur relasi intersubjek, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam sebuah masyarakat. Dari sana, Negara terbentuk. Refleksi Hobbes dan Sapardi secara amat gamblang membenarkan fakta minor yang terjadi di Lasiana, khususnya. Berita yang diturunkan dalam Pos Kupang (Sabtu, 8/10/2016) jelas-jelas menunjukkan betapa kita masih sebegitu mudahnya menjadi serigala bagi sesama. Dada kita makin terasa sesak ketika tahu bahwa tragedi ini justru dipentaskan dalam sebuah acara wisuda, ritual wajib tahunan yang masih diyakini sebagai klimaks dari segala perjuangan selama studi. Ini wajah ‘kusut’ yang saya maksudkan. Bukan wajah para mahasiswi/a yang kusut karena uang regis belum dikirim dari kampung atau pulsa data menipis, melainkan sisi negatif yang mungkin dari mahasiswi/a, sebagaimana ‘tragedi 7 Oktober’ itu.

Wajah ‘Berseri’
          Bahwa ‘terang’ dan ‘gelap’ selalu saling mengandaikan, demikian pula ada wajah ‘kusut’ ada pula wajah ‘berseri’. Dalam frasa purba yang optimis, mahasiswi/a tetap merupakan agen perubahan. Saya merasa terdorong untuk mengangkat hal ini, sebab jika tidak, akan terkubur mati begitu saja. Di sini saya sekaligus melayangkan kritik atas sisi lemah prioritas informasi dan opini publik kita. Publik mudah digiring oleh dan menuju isu yang menjengkelkan, ketimbang isu yang konstruktif, yang membanggakan.
            Mari kita lihat wajah ‘berseri’ mahasiswi/a itu, yang saya himpun secara acak. Ratusan mahasiswi/a Undana, Politeknik Pertanian Kupang, Stikes Maranatha, Fakultas Perikanan Universitas Muhamadiyah Kupang (UMK), Walhi NTT, Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Agrawitaka Universitas Prof. Dr. Moestopo Bragama-Jakarta, dan Lantamal VII Kupang, pernah ‘menyerang’ Pantai Oesapa. Motif apa yang melatari aksi ini? Jawabannya amat fundamental dan visioner. Terdorong oleh kepedulian ekologis, orang-orang muda ini terjun ke medan bakti dan mulai menunjukkan sensitivitas mereka. Sampah-sampah dipungut, pantai Oesapa dibersihkan. Di Pantai Paradiso, Oesapa Barat, sekitar 130 anakan mangrove ditanam. Kepedulian ekologis, ini motif fundamentalnya, sedangkan motif visionernya menyata dalam tujuan aksi ini yakni menyelamatkan pantai dari abrasi dan menjaga keasriannya.  
            Senada dengan contoh di atas, Kelompok Minat FraPAla juga mempresentasikan konsistensi mereka menjaga kelestarian alam. FraPAla itu akronim dari Frater Pencinta Alam (yang sekaligus para mahasiswa STFK Ledalero), sebuah kelompok minat yang lahir dari Rahim Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere. Didirikan pada 4 Oktober 1993 (bertepatan dengan Pesta St. Fransiskus dari Asisi), FraPAla mengambil motto, Lex Interna Caritatis (Hukum Cinta Kasih). Kendatipun belum sebegitu bergaungnya FraPAla di Nian Tana Sikka, beberapa aksi konkret telah mereka lakukan demi menjaga integritas alam. Didorong oleh spirit St. Fransiskus dari Asisi, para mahasiswa ini menanam bakau di pantai utara Maumere, reboisasi di daerah tandus Nangarasong dan mata air Wair Puang.
Aksi-aksi yang merupakan penjabaran riil atas kepedulian ekologis yang terjadi di Kupang dan Maumere ini, ditambah dengan menjamurnya komunitas-komunitas kreatif dalam pelbagai bidang yang tersebar di seantero NTT dan kegiatan Peta Kaum Muda Indonesia 2016 yang diselenggarakan oleh Tempo Insitute dalamnya para mahasiswi/a turut ambil bagian, serentak menunjukkan bahwa ternyata sisi positif dari mahasiswi/a itu jauh lebih besar. Ini yang saya maksudkan dengan wajah ‘berseri’ itu. 

‘Quo Vadis?’
          Mengutip Goenawan Mohamad, kita mesti ‘bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata’. Rupanya, ‘maha’ yang dilekatkan pada ‘siswi/a’, tak selamanya berarti mulia. Ada duka yang terselip atau mungkin lahir darinya. Catatan sesudah ‘tragedi 7 Oktober’ yang dirangkum dalam pertanyaan ‘Quo Vadis?’ ini secara tegas hendak menggeledah kesadaran kolektif kita. Di satu sisi, para mahasiswi/a masih terjebak dalam kekeliruan yang berujung pada anarkisme dan dekadensi moral lainnya, sedangkan di sisi yang sisa, keterlibatan mereka dalam isu-isu ekologi, politik, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan begitu menentukan. Ini dilema yang krusial, ambivalensi yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Untuk aksi-aksi positif yang menggambarkan wajah ‘berseri’ mahasiswi/a, sudah layak dan sepantasnya ditingkatkan. Sebaliknya, wajah ‘kusut’ yang juga masih ditampilkan, amat mendesak untuk ditanggapi, dievaluasi, dan direformasi oleh semua pihak.
            Akhir kata, saya menyampaikan turut berduka atas berpulangnya Rekan Severianus. Sekiranya tragedi ini diselesaikan secara adil dan membebaskan. Catatan lain yang mesti kita diskusikan setelah ‘tragedi 7 Oktober’ ialah apakah para dosen yang berdiri di mimbar kuliah itu: menganimasi atau mengindoktrinasi? ***


 

Sabtu, 20 Agustus 2016

Puisi-puisi Er El Em*

_____________

genit

saya adalah hujan
yang jatuh berderai di tepi atap
"selamat pagi, Sayang.."
hujan menyapamu

"pagi juga, Hujan.."
kau balas melambai
sedikit genit
sambil dua bola matamu mendadak kedinginan

Mei 2016



 



bibir

ada yang kurang beres
waktu bibirku mendekati bibirmu
"sabar,,," bibirmu berseru
"mengapa?" bibirku menjawab


didapati bibirnya, sesuatu yang aneh
pada bibirku
jejak masa lalu yang nakal, yang tak asing
bekas bibir temannya tak mau lari dari bibirku

Mei 2016
 
 

menggoda

sejak kau lalu-lalang di kepalaku
ada yang tiba-tiba tak biasa
"itu perasaanmu saja.." kata daun jendela
"ah, tidak, ini nyata.." balas lidahku

menggoda adalah nama lain dari
lalu-lalang yang tak biasa
seperti dada yang montok
seperti puisi yang membelalakkan mata

Mei 2016


________________________
*Er El Em, nama pena dari Reinard L. Meo, kolektor topi yang juga jatuh cinta pada fotografi.
Menyukai lombok-tomat dan bibir. Bibirmu!




------------
NB: 3 nomor puisi ini dimuat dalam Warta Flobamora, edisi 42, Juli 2016, hlm. 48.