Sabtu, 06 Agustus 2016

Bendera yang Tercabik


Cerpen: Er El Em* 





JUMAT, 15 Agustus 2003, pada waktu yang sudah saya lupa. Satu-satunya wajah alam yang masih saya ingat kala itu ialah langit yang memerah, tampak juga sedikit kekuningan. Gemawan yang tercecer seolah membentuk jari-jari yang mencelupkan diri dalam wadah benderang yang agung, lalu terpencar. Matahari senja itu perlahan menghilang di punggung Inerie. Yah, Inerie, puncak dari segala rindu. Kami sedang dalam perjalanan pulang dari kebun. Setengah karung kakao ada di kepala Mama, di tangannya ia menggenggam setumpuk pucuk labu jepang. Sedang saya, di pundak bertahta seikat kayu bakar. Lumayan beratnya. Sepanjang jalan berbatu menuju kampung itu, saya sempat bertanya tentang batas kebun kami. Mama menjawab seadanya, lalu ganti menasihati. “Vian, Mama sudah lihat nilai rapormu. Mengapa nilai Matematika jatuh?” Saya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya satu-satu. Burung-burung malam mulai bernyanyi. “Saya sudah bilang berkali-kali Ma, saya agak sulit belajar Matematika. Ibu Teresia juga selalu cubit telinga saya, tapi syukur, saya bisa naik kelas, kan Ma?” “Waktu Bapak masih hidup, ia selalu bermimpi bahwa anak-anaknya harus sukses. Suatu malam, ia jatuh sakit, sakitnya keras sekali. Kata dukun kampung sebelah, ada orang yang tidak suka pada Bapak. Akhirnya, Bapak mati. Mama sedang mengandung Aplin, adikmu itu. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, dengan suara yang hampir tak kedengaran, Bapak masih mengingatkan Mama untuk memperhatikan sekolah kalian.” Sudut mata saya menangkap gerak tangan Mama yang menyeka matanya. Saya biarkan saja itu terjadi. Kadang, di hadapan sebuah kesedihan, manusia harus diam. Diam, hening, sembari merapal sepucuk doa.

            Kampung Dona mulai sepi. Lampu-lampu di tiap rumah mulai dinyalakan. Kami akhirnya tiba juga di rumah. Aplin, adik perempuan saya yang baru berumur 5 tahun berlari-lari kecil menjemput Mama. Dari dalam karung kakao itu Mama mengeluarkan beberapa buah markisa. Arplin girangnya bukan main. Di dapur, Oma Vero sedang merebus ubi. Aromanya kian menggoda rasa lapar saya. Saya tidak bisa menunggu terlalu lama untuk itu. Saya makan dengan lahapnya.

                Saking nikmatnya ubi rebus dan kopi buatan Oma itu, saya terkejut karena Mama sudah selesai mandi. Di dekat tungku api, ia sedang menyisir rambutnya yang hitam dan panjang. Oleh pantulan lidah-lidah api yang berkobar, Mama tampak begitu elok. Pantasan, Bapak tidak membiarkan begitu saja Mama jatuh ke pelukan laki-laki lain. Aplin telah terpekur di pangkuan Oma, Oma sibuk dengan sirih dan pinangnya. “Vian, apel 17 Agustus nanti, kalian apel di mana?” Pertanyaan Mama yang tiba-tiba itu membuat saya berhenti makan. Saya nyaris tidak ingat lagi akan hal itu. “Aduhhh...Mama, syukur Mama bertanya tentang apel itu. Tadi waktu pengumuman sebelum pulang sekolah, Ibu Teresia berpesan bahwa esok kami libur. Kami harus siapkan pakaian seragam, kaus kaki, sepatu, dan topi. Mama sudah siap, kan?” Saya begitu berapi-api. Mama diam. Suasana hening untuk beberapa saat. Akhirnya, Oma angkat bicara. Dalam bahasa daerah, dengan suara yang tenang, Oma mengulang pertanyaan saya tadi kepada Mama. Sepi kembali menyelimuti kami. Saya menanti dalam gelisah yang purna. “Vian, Mama tahu, pasti Vian akan marah. Mama harus jujur karena Mama belum sempat membeli seragam yang baru untuk Vian. Uang yang Mama tabung, sudah dipakai untuk arisan bulan lalu. Mama tidak berani memberitahukan hal ini pada hari-hari kemarin. Mama takut Vian kecewa....!” Ubi dan kopi yang masih tersisa sekejap terasa begitu hambar di lidah saya. Kelopak yang menahan tumpukan air mata akhirnya rubuh. Saya tinggalkan Mama, Oma, dan Aplin, lari menuju peti kayu di kamar Mama. Air mata yang masih mengalir deras saya biarkan membasahi pipi yang belum dicuci. Saya merasakan kekecewaan yang luar biasa. Bayangan akan kejadian yang saya alami 3 tahun silam kembali mengiris-iris hati kecil saya.

*******

  

[Sumber gambar:
https://www.google.com/search?q=bendera+merah-putih+yang+tercabik&client=firefox-b-ab&biw=1366&bih=641&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwjxquC9-a3OAhXML48KHYOpATIQ_AUIBigB#imgrc=kOXV-TkID1pyTM%3A.]


 

            Halaman SDK Dona, Desa Naruwolo, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada bagaikan hamparan tulang-tulang putih dibalut daging memerah. Dari samping dapur rumah kami yang terletak di tempat yang agak tinggi, saya melihat sebuah suasana yang membuat saya tidak bisa menunggu Mama terlalu lama. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas III, belum juga menerima Komuni Pertama. “Mama, saya duluan...!” Saya berseru sambil berlari menuruni bukit kecil itu menuju sekolah. Jambu biji yang saya petik dari kebun di depan rumah Om Endi saya gigit sekali saja lalu saya buang. 

            Teman-teman kelas III telah siap dalam barisan. Saya menyusup dan menempati bagian tengah. Topi merah saya betulkan, sipit-sipit saya lihat Ibu Teresia, kepala sekolah dan guru Matematika yang kejam itu, muncul. Menggunakan lawo jara ngura, Mama telah ada di barisan para orangtua dan wali. Apel 17 Agustus memperingati HUT Kemerdekaan RI pada tahun 2000 itu akan segera dimulai. Suasana hikmat, mentari mulai meninggi. Merah-Putih pun dikibarkan, ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan. Gema yang dahsyat memenuhi seluruh kampung. Semangat dan gegap-gempita rupanya masih berurat akar dalam dada warga sekolah dan orang-orang di kampung kami ini. Sebuah kampung kecil di daerah terpencil, jauh dari sentuhan modernitas. Bagaikan serpihan kaca yang terpental tapi masih mampu memantulkan sinar rembulan malam. 

            Tibalah saatnya Pembina Upacara memberikan sambutan. Para siswi dan siswa yang tidak tahan disengat matahari memilih untuk berteduh di bawah rindang beberapa pohon advokat yang ada. Saya dan beberapa teman sekelas juga mendengarkan Ibu Teresia dari rindang pohon advokat. “Para orangtua/wali, Negara kita, Indonesia sudah merdeka bertahun-tahun......” Suara Guru Matematika yang kejam itu mulai meninggi. “...tapi, sesuai pengamatan saya, banyak dari siswi dan siswa SDK Dona masih memakai seragam yang robek di sana-sini, penuh noda, dan kekurangan kancing.........!” Masing-masing kami saling menoleh. Lima pasang mata teman-teman tertuju pada saya. Bagaikan sebilah pedang dihunuskan pada perut saya, teman-teman ramai-ramai berseru, “Ini Bu..... Vian ini Bu...... kerak baju seragamnya robek, penuh noda...........!!!!! Hahahahaha........!!!!!!!!!!” Sesaat, bumi saya rasakan seperti sedang berguncang hebat, kepala mengeras, urat-urat menyusut, jantung berdegup kencang sekali. Saya berlari menuju Mama, ratusan pasang mata seolah mencemooh, menertawakan, meneror. Pada lawo jara ngura itu saya membenamkan wajah, saya telah kehilangan segala-galanya...........

*******

            Seragam lama yang telah saya keluarkan dari peti kayu di kamar Mama itu saya banting ke tanah. Saya mengoyak-ngoyakkannya sambil air mata terus gugur. Luka yang tertoreh 3 tahun silam kembali mendesah, kembali menganga, merembeskan darah pilu dan malu yang sungguh. Malam itu, saya tidur tanpa terlebih dahulu mandi. Tersedu-sedu di balik selimut, saya akhirnya lelap. Tengah malam, tangan Mama saya rasakan sedang memeluk. Mengingat-ingat tragedi itu, ditambah status saya yang kini duduk di bangku kelas VI, dan apel 17 Agustus dua hari lagi yang akan terjadi di lapangan kecamatan, membuat saya ingin lekas lelap lagi. Sesaat saya rasakan amarah yang memanas pada Mama. 

*******

            Truk kayu berhenti tepat di depan rumah. Aplin, yang sudah bertumbuh gadis sedang menyiram petak-petak yang ditanami lombok. Saya tidak melihat Mama dan Oma, begitu pula mereka bertiga tidak tahu bahwa hari itu saya pulang. Saya memberi salam, Aplin terkejut, melepas begitu saja ember berisi air, lalu berlari ke arah saya dan memeluk erat-erat. “Mama, Oma... Kaka Vian pulang....!!!!!” Aplin kegirangan. Sambil berlari-lari kecil, Mama keluar dari dapur. Uban pada rambutnya semakin menjadi. Oma tetap di dapur, usia yang makin senja mengharuskan ia untuk tidak banyak bergerak. Saya memeluk Mama, lalu mencium Oma. Agar lebih leluasa berceritera, saya putuskan untuk menyimpan tas dan mengganti pakaian di kamar Mama. Setibanya saya di kamar Mama, sinar matahari yang menyelinap, jatuh tepat di sudut tempat Mama menyimpan Patung Bunda Maria. Di samping patung, saya mendapati sesuatu yang aneh. Bendera Merah-Putih yang diikat pada sebuah kayu kecil. Bedera itu seperti telah tercabik-cabik, mungkin oleh ngengat dan gigitan tikus. 

            Sambil menenteng sebuah amplop besar, saya kembali ke dapur. Oma, Mama, dan Aplin kelihatan tidak percaya, sangat-sangat tidak percaya karena dari dalam amplop itu saya mengeluarkan lembaran yudisium, piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik S1 Matematika dengan predikat cum laude pada Universitas Nusa Cendana-Kupang tahun 2014 ini, dan sebuah foto wisuda. Seperti tak mau memberi kesempatan pada mereka untuk bertutur sesuatu, saya lanjut bertanya. “Mama, apa maksud bendera Merah-Putih di samping patung di kamar Mama itu?”  Dua hari lagi, apel 17 Agustus 2014 akan digelar di lapangan Kecamatan Jerebu’u. Mama menjawab pelan, “Bendera itu Mama jahit dari pakaian seragam yang Vian buang dan Vian robek-robek, 11 tahun yang lalu....!” Saya melepas amplop itu, di pangkuan Mama, saya menangis sejadi-jadinya. Malam itu, hujan turun deras sekali. Di surga, Bapak turut meneteskan air mata bersama kami. 

*******

            Tibalah waktunya bagi saya untuk kembali ke Kupang, menjawabi panggilan mendadak. Bendera yang tercabik itu saya simpan baik-baik dalam amplop bersama berkas-berkas lainnya. Di sudut hati yang paling sunyi, sambil mata terpejam, “Dirgahayu Republik Indonesia Tercinta...!” *** 




-Agustinus, Ledalero, 6 Agustus 2015- 


Keterangan:  
-lawo (kain adat bagi perempuan Bajawa),  
-jara (kuda),  
-ngura (biru),
-lawo jara ngura (kain adat dengan motif kuda berbenang biru).




[Cerita ini pernah dimuat dalam Flores Pos, edisi dan halaman yang sudah saya lupa. Waktu membacanya kembali, mata saya berkaca-kaca. Andai kau ada di posisi saya. Yang menulis cerita ini. Yang merasakan getaran ini!]                            
                 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar