Cerpen: Er El Em*
JUMAT, 15
Agustus 2003, pada waktu yang sudah saya lupa. Satu-satunya wajah alam yang
masih saya ingat kala itu ialah langit yang memerah, tampak juga sedikit
kekuningan. Gemawan yang tercecer seolah membentuk jari-jari yang mencelupkan
diri dalam wadah benderang yang agung, lalu terpencar. Matahari senja itu
perlahan menghilang di punggung Inerie. Yah, Inerie, puncak dari segala rindu.
Kami sedang dalam perjalanan pulang dari kebun. Setengah karung kakao ada di kepala
Mama, di tangannya ia menggenggam setumpuk pucuk labu jepang. Sedang saya, di
pundak bertahta seikat kayu bakar. Lumayan beratnya. Sepanjang jalan berbatu
menuju kampung itu, saya sempat bertanya tentang batas kebun kami. Mama
menjawab seadanya, lalu ganti menasihati. “Vian, Mama sudah lihat nilai
rapormu. Mengapa nilai Matematika jatuh?” Saya menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya satu-satu. Burung-burung malam mulai bernyanyi. “Saya sudah
bilang berkali-kali Ma, saya agak sulit belajar Matematika. Ibu Teresia juga
selalu cubit telinga saya, tapi syukur, saya bisa naik kelas, kan Ma?” “Waktu
Bapak masih hidup, ia selalu bermimpi bahwa anak-anaknya harus sukses. Suatu
malam, ia jatuh sakit, sakitnya keras sekali. Kata dukun kampung sebelah, ada orang
yang tidak suka pada Bapak. Akhirnya, Bapak mati. Mama sedang mengandung Aplin,
adikmu itu. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, dengan suara yang hampir
tak kedengaran, Bapak masih mengingatkan Mama untuk memperhatikan sekolah
kalian.” Sudut mata saya menangkap gerak tangan Mama yang menyeka matanya. Saya
biarkan saja itu terjadi. Kadang, di hadapan sebuah kesedihan, manusia harus
diam. Diam, hening, sembari merapal sepucuk doa.
Kampung Dona mulai sepi. Lampu-lampu
di tiap rumah mulai dinyalakan. Kami akhirnya tiba juga di rumah. Aplin, adik
perempuan saya yang baru berumur 5 tahun berlari-lari kecil menjemput Mama.
Dari dalam karung kakao itu Mama mengeluarkan beberapa buah markisa. Arplin
girangnya bukan main. Di dapur, Oma Vero sedang merebus ubi. Aromanya kian
menggoda rasa lapar saya. Saya tidak bisa menunggu terlalu lama untuk itu. Saya
makan dengan lahapnya.
Saking nikmatnya ubi rebus dan kopi buatan Oma itu, saya terkejut karena
Mama sudah selesai mandi. Di dekat tungku api, ia sedang menyisir rambutnya
yang hitam dan panjang. Oleh pantulan lidah-lidah api yang berkobar, Mama
tampak begitu elok. Pantasan, Bapak tidak membiarkan begitu saja Mama jatuh ke
pelukan laki-laki lain. Aplin telah terpekur di pangkuan Oma, Oma sibuk dengan
sirih dan pinangnya. “Vian, apel 17 Agustus nanti, kalian apel di mana?”
Pertanyaan Mama yang tiba-tiba itu membuat saya berhenti makan. Saya nyaris
tidak ingat lagi akan hal itu. “Aduhhh...Mama, syukur Mama bertanya tentang
apel itu. Tadi waktu pengumuman sebelum pulang sekolah, Ibu Teresia berpesan
bahwa esok kami libur. Kami harus siapkan pakaian seragam, kaus kaki, sepatu,
dan topi. Mama sudah siap, kan?” Saya begitu berapi-api. Mama diam. Suasana
hening untuk beberapa saat. Akhirnya, Oma angkat bicara. Dalam bahasa daerah,
dengan suara yang tenang, Oma mengulang pertanyaan saya tadi kepada Mama. Sepi
kembali menyelimuti kami. Saya menanti dalam gelisah yang purna. “Vian, Mama
tahu, pasti Vian akan marah. Mama harus jujur karena Mama belum sempat membeli
seragam yang baru untuk Vian. Uang yang Mama tabung, sudah dipakai untuk arisan
bulan lalu. Mama tidak berani memberitahukan hal ini pada hari-hari kemarin.
Mama takut Vian kecewa....!” Ubi dan kopi yang masih tersisa sekejap terasa
begitu hambar di lidah saya. Kelopak yang menahan tumpukan air mata akhirnya
rubuh. Saya tinggalkan Mama, Oma, dan Aplin, lari menuju peti kayu di kamar
Mama. Air mata yang masih mengalir deras saya biarkan membasahi pipi yang belum
dicuci. Saya merasakan kekecewaan yang luar biasa. Bayangan akan kejadian yang
saya alami 3 tahun silam kembali mengiris-iris hati kecil saya.
*******
[Sumber gambar:
https://www.google.com/search?q=bendera+merah-putih+yang+tercabik&client=firefox-b-ab&biw=1366&bih=641&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwjxquC9-a3OAhXML48KHYOpATIQ_AUIBigB#imgrc=kOXV-TkID1pyTM%3A.]
Halaman SDK Dona, Desa Naruwolo,
Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada bagaikan hamparan tulang-tulang putih
dibalut daging memerah. Dari samping dapur rumah kami yang terletak di tempat
yang agak tinggi, saya melihat sebuah suasana yang membuat saya tidak bisa
menunggu Mama terlalu lama. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas III,
belum juga menerima Komuni Pertama. “Mama, saya duluan...!” Saya berseru sambil
berlari menuruni bukit kecil itu menuju sekolah. Jambu biji yang saya petik
dari kebun di depan rumah Om Endi saya gigit sekali saja lalu saya buang.
Teman-teman kelas III telah siap
dalam barisan. Saya menyusup dan menempati bagian tengah. Topi merah saya
betulkan, sipit-sipit saya lihat Ibu Teresia, kepala sekolah dan guru
Matematika yang kejam itu, muncul. Menggunakan lawo jara ngura, Mama telah ada di barisan para orangtua dan wali.
Apel 17 Agustus memperingati HUT Kemerdekaan RI pada tahun 2000 itu akan segera
dimulai. Suasana hikmat, mentari mulai meninggi. Merah-Putih pun dikibarkan,
‘Indonesia Raya’ dinyanyikan. Gema yang dahsyat memenuhi seluruh kampung.
Semangat dan gegap-gempita rupanya masih berurat akar dalam dada warga sekolah
dan orang-orang di kampung kami ini. Sebuah kampung kecil di daerah terpencil,
jauh dari sentuhan modernitas. Bagaikan serpihan kaca yang terpental tapi masih
mampu memantulkan sinar rembulan malam.
Tibalah saatnya Pembina Upacara
memberikan sambutan. Para siswi dan siswa yang tidak tahan disengat matahari
memilih untuk berteduh di bawah rindang beberapa pohon advokat yang ada. Saya
dan beberapa teman sekelas juga mendengarkan Ibu Teresia dari rindang pohon
advokat. “Para orangtua/wali, Negara kita, Indonesia sudah merdeka
bertahun-tahun......” Suara Guru Matematika yang kejam itu mulai meninggi.
“...tapi, sesuai pengamatan saya, banyak dari siswi dan siswa SDK Dona masih
memakai seragam yang robek di sana-sini, penuh noda, dan kekurangan
kancing.........!” Masing-masing kami saling menoleh. Lima pasang mata
teman-teman tertuju pada saya. Bagaikan sebilah pedang dihunuskan pada perut
saya, teman-teman ramai-ramai berseru, “Ini Bu..... Vian ini Bu...... kerak
baju seragamnya robek, penuh noda...........!!!!! Hahahahaha........!!!!!!!!!!”
Sesaat, bumi saya rasakan seperti sedang berguncang hebat, kepala mengeras,
urat-urat menyusut, jantung berdegup kencang sekali. Saya berlari menuju Mama,
ratusan pasang mata seolah mencemooh, menertawakan, meneror. Pada lawo jara ngura itu saya membenamkan
wajah, saya telah kehilangan segala-galanya...........
*******
Seragam lama yang telah saya
keluarkan dari peti kayu di kamar Mama itu saya banting ke tanah. Saya
mengoyak-ngoyakkannya sambil air mata terus gugur. Luka yang tertoreh 3 tahun
silam kembali mendesah, kembali menganga, merembeskan darah pilu dan malu yang
sungguh. Malam itu, saya tidur tanpa terlebih dahulu mandi. Tersedu-sedu di
balik selimut, saya akhirnya lelap. Tengah malam, tangan Mama saya rasakan
sedang memeluk. Mengingat-ingat tragedi itu, ditambah status saya yang kini
duduk di bangku kelas VI, dan apel 17 Agustus dua hari lagi yang akan terjadi
di lapangan kecamatan, membuat saya ingin lekas lelap lagi. Sesaat saya rasakan
amarah yang memanas pada Mama.
*******
Truk kayu berhenti tepat di depan
rumah. Aplin, yang sudah bertumbuh gadis sedang menyiram petak-petak yang
ditanami lombok. Saya tidak melihat Mama dan Oma, begitu pula mereka bertiga
tidak tahu bahwa hari itu saya pulang. Saya memberi salam, Aplin terkejut,
melepas begitu saja ember berisi air, lalu berlari ke arah saya dan memeluk
erat-erat. “Mama, Oma... Kaka Vian pulang....!!!!!” Aplin kegirangan. Sambil
berlari-lari kecil, Mama keluar dari dapur. Uban pada rambutnya semakin
menjadi. Oma tetap di dapur, usia yang makin senja mengharuskan ia untuk tidak
banyak bergerak. Saya memeluk Mama, lalu mencium Oma. Agar lebih leluasa
berceritera, saya putuskan untuk menyimpan tas dan mengganti pakaian di kamar
Mama. Setibanya saya di kamar Mama, sinar matahari yang menyelinap, jatuh tepat
di sudut tempat Mama menyimpan Patung Bunda Maria. Di samping patung, saya
mendapati sesuatu yang aneh. Bendera Merah-Putih yang diikat pada sebuah kayu
kecil. Bedera itu seperti telah tercabik-cabik, mungkin oleh ngengat dan gigitan
tikus.
Sambil menenteng sebuah amplop
besar, saya kembali ke dapur. Oma, Mama, dan Aplin kelihatan tidak percaya,
sangat-sangat tidak percaya karena dari dalam amplop itu saya mengeluarkan
lembaran yudisium, piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik S1 Matematika
dengan predikat cum laude pada
Universitas Nusa Cendana-Kupang tahun 2014 ini, dan sebuah foto wisuda. Seperti
tak mau memberi kesempatan pada mereka untuk bertutur sesuatu, saya lanjut
bertanya. “Mama, apa maksud bendera Merah-Putih di samping patung di kamar Mama
itu?” Dua hari lagi, apel 17 Agustus
2014 akan digelar di lapangan Kecamatan Jerebu’u. Mama menjawab pelan, “Bendera
itu Mama jahit dari pakaian seragam yang Vian buang dan Vian robek-robek, 11
tahun yang lalu....!” Saya melepas amplop itu, di pangkuan Mama, saya menangis
sejadi-jadinya. Malam itu, hujan turun deras sekali. Di surga, Bapak turut
meneteskan air mata bersama kami.
*******
Tibalah waktunya bagi saya untuk
kembali ke Kupang, menjawabi panggilan mendadak. Bendera yang tercabik itu saya
simpan baik-baik dalam amplop bersama berkas-berkas lainnya. Di sudut hati yang
paling sunyi, sambil mata terpejam, “Dirgahayu Republik Indonesia Tercinta...!”
***
-Agustinus, Ledalero, 6 Agustus 2015-
Keterangan:
-lawo
(kain adat bagi perempuan Bajawa),
-jara
(kuda),
-ngura (biru),
-lawo jara ngura (kain adat dengan motif
kuda berbenang biru).
[Cerita ini pernah dimuat dalam Flores Pos, edisi dan halaman yang sudah saya lupa. Waktu membacanya kembali, mata saya berkaca-kaca. Andai kau ada di posisi saya. Yang menulis cerita ini. Yang merasakan getaran ini!]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar