Kamis, 03 November 2016

‘Tragedi 7 Oktober’ dan Catatan Sesudahnya



Oleh Reinard L. Meo
Mahasiswa
Alumnus SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman)



Sebagai mahasiswa, saya merasa malu dan terprovokasi, jika untuk mengatakan ‘saya terpukul’, kedengarannya terlalu melankolis. Malu karena sejak ‘tragedi 7 Oktober’ di Lasiana-Kupang itu, media-media massa kita ramai melansir kritik terhadap mahasiswi/a. Terprovokasi karena ternyata, ‘maha’ yang dilekatkan pada ‘siswi/a’, tak selamanya baik. Dibangun di atas dasar ‘malu’ dan ‘terprovokasi’, tesis kunci yang akan saya elaborasi dalam artikel sederhana ini ialah wajah ganda mahasiswi/a kita. Yang saya maksudkan dengan wajah ganda tidak lain dan tidak bukan mengarah pada dua sisi yang inheren dalam diri setiap manusia, positif dan negatif. Secara sangat ringkas, saya akan mulai dengan wajah ‘kusut’ mahasiswi/a, lalu bertolak menuju wajah ‘berseri’-nya. Pada bagian ketiga, wajah ganda ini akan diintegrasi melalui pertanyaan ‘Quo Vadis Mahasiwi/a..?’, yang berakhir dengan beberapa poin urgen sebagai pembelajaran bagi kita semua. 

Wajah ‘Kusut’
Setelah Saudara kita Fidelis Honto (22), tewas dalam bentrok saudara antara sekelompok mahasiswa asal Manggarai Timur dan Manggarai Barat di Malang (Sabtu, 14/11/2015), baru-baru ini, hampir genap setahun, (Jumat, 7/10/2016), giliran Severianus Lawan Geroda (24) yang mesti ‘pulang’ secara mengenaskan. Adrianus Kia Beda (20) yang juga menjadi korban, kini tengah dirawat dan sekiranya cepat pulih. Secara pribadi, ketika mendapat berita macam ini, saya lantas teringat akan salah satu larik sajak Sapardi Djoko Damono, “Dalam diri setiap kita, berjaga-jaga segerombolan serigala.”
Artinya apa? Mengapa saya sebut ini sebagai wajah ‘kusut’? Jauh-jauh hari sebelum Sapardi, filsuf politik yang memainkan posisi penting dalam refleksi tentang Negara, Thomas Hobbes (1588-1679), telah angkat bicara soal ini. Posisi asali sebuah masyarakat ialah bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua. Ini berawal dari homo homini lupus, manusia itu serigala bagi yang lain. Oleh karena factum primum ini, lahirlah apa yang disebut Kontrak Sosial atau Konstitusi yang berfungsi mengatur relasi intersubjek, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam sebuah masyarakat. Dari sana, Negara terbentuk. Refleksi Hobbes dan Sapardi secara amat gamblang membenarkan fakta minor yang terjadi di Lasiana, khususnya. Berita yang diturunkan dalam Pos Kupang (Sabtu, 8/10/2016) jelas-jelas menunjukkan betapa kita masih sebegitu mudahnya menjadi serigala bagi sesama. Dada kita makin terasa sesak ketika tahu bahwa tragedi ini justru dipentaskan dalam sebuah acara wisuda, ritual wajib tahunan yang masih diyakini sebagai klimaks dari segala perjuangan selama studi. Ini wajah ‘kusut’ yang saya maksudkan. Bukan wajah para mahasiswi/a yang kusut karena uang regis belum dikirim dari kampung atau pulsa data menipis, melainkan sisi negatif yang mungkin dari mahasiswi/a, sebagaimana ‘tragedi 7 Oktober’ itu.

Wajah ‘Berseri’
          Bahwa ‘terang’ dan ‘gelap’ selalu saling mengandaikan, demikian pula ada wajah ‘kusut’ ada pula wajah ‘berseri’. Dalam frasa purba yang optimis, mahasiswi/a tetap merupakan agen perubahan. Saya merasa terdorong untuk mengangkat hal ini, sebab jika tidak, akan terkubur mati begitu saja. Di sini saya sekaligus melayangkan kritik atas sisi lemah prioritas informasi dan opini publik kita. Publik mudah digiring oleh dan menuju isu yang menjengkelkan, ketimbang isu yang konstruktif, yang membanggakan.
            Mari kita lihat wajah ‘berseri’ mahasiswi/a itu, yang saya himpun secara acak. Ratusan mahasiswi/a Undana, Politeknik Pertanian Kupang, Stikes Maranatha, Fakultas Perikanan Universitas Muhamadiyah Kupang (UMK), Walhi NTT, Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Agrawitaka Universitas Prof. Dr. Moestopo Bragama-Jakarta, dan Lantamal VII Kupang, pernah ‘menyerang’ Pantai Oesapa. Motif apa yang melatari aksi ini? Jawabannya amat fundamental dan visioner. Terdorong oleh kepedulian ekologis, orang-orang muda ini terjun ke medan bakti dan mulai menunjukkan sensitivitas mereka. Sampah-sampah dipungut, pantai Oesapa dibersihkan. Di Pantai Paradiso, Oesapa Barat, sekitar 130 anakan mangrove ditanam. Kepedulian ekologis, ini motif fundamentalnya, sedangkan motif visionernya menyata dalam tujuan aksi ini yakni menyelamatkan pantai dari abrasi dan menjaga keasriannya.  
            Senada dengan contoh di atas, Kelompok Minat FraPAla juga mempresentasikan konsistensi mereka menjaga kelestarian alam. FraPAla itu akronim dari Frater Pencinta Alam (yang sekaligus para mahasiswa STFK Ledalero), sebuah kelompok minat yang lahir dari Rahim Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere. Didirikan pada 4 Oktober 1993 (bertepatan dengan Pesta St. Fransiskus dari Asisi), FraPAla mengambil motto, Lex Interna Caritatis (Hukum Cinta Kasih). Kendatipun belum sebegitu bergaungnya FraPAla di Nian Tana Sikka, beberapa aksi konkret telah mereka lakukan demi menjaga integritas alam. Didorong oleh spirit St. Fransiskus dari Asisi, para mahasiswa ini menanam bakau di pantai utara Maumere, reboisasi di daerah tandus Nangarasong dan mata air Wair Puang.
Aksi-aksi yang merupakan penjabaran riil atas kepedulian ekologis yang terjadi di Kupang dan Maumere ini, ditambah dengan menjamurnya komunitas-komunitas kreatif dalam pelbagai bidang yang tersebar di seantero NTT dan kegiatan Peta Kaum Muda Indonesia 2016 yang diselenggarakan oleh Tempo Insitute dalamnya para mahasiswi/a turut ambil bagian, serentak menunjukkan bahwa ternyata sisi positif dari mahasiswi/a itu jauh lebih besar. Ini yang saya maksudkan dengan wajah ‘berseri’ itu. 

‘Quo Vadis?’
          Mengutip Goenawan Mohamad, kita mesti ‘bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata’. Rupanya, ‘maha’ yang dilekatkan pada ‘siswi/a’, tak selamanya berarti mulia. Ada duka yang terselip atau mungkin lahir darinya. Catatan sesudah ‘tragedi 7 Oktober’ yang dirangkum dalam pertanyaan ‘Quo Vadis?’ ini secara tegas hendak menggeledah kesadaran kolektif kita. Di satu sisi, para mahasiswi/a masih terjebak dalam kekeliruan yang berujung pada anarkisme dan dekadensi moral lainnya, sedangkan di sisi yang sisa, keterlibatan mereka dalam isu-isu ekologi, politik, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan begitu menentukan. Ini dilema yang krusial, ambivalensi yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Untuk aksi-aksi positif yang menggambarkan wajah ‘berseri’ mahasiswi/a, sudah layak dan sepantasnya ditingkatkan. Sebaliknya, wajah ‘kusut’ yang juga masih ditampilkan, amat mendesak untuk ditanggapi, dievaluasi, dan direformasi oleh semua pihak.
            Akhir kata, saya menyampaikan turut berduka atas berpulangnya Rekan Severianus. Sekiranya tragedi ini diselesaikan secara adil dan membebaskan. Catatan lain yang mesti kita diskusikan setelah ‘tragedi 7 Oktober’ ialah apakah para dosen yang berdiri di mimbar kuliah itu: menganimasi atau mengindoktrinasi? ***